- Gemilang Dendang Dangdut
- Sejarah dan Asal Mula Musik Dangdut
- Pelopor Musik Dangdut Indonesia
- Tahun Emas Dangdut
- Gembira Ria Dangdut di Masyarakat
- Meriah Dangdut dalam Kampanye Politik
- Dangdut Goyang Jepang
- Kontes Dangdut
- Periodisasi dan Maestro Dangdut Abad ke-20
- Pandangan Masyarakat terhadap Lirik Dangdut
- Dangdut, Kini dan Nanti
- Genre Lain
- Jadi Warisan Dunia

Gemilang Dendang Dangdut
Siapa tak kenal dengan dangdut? Dendang melodinya yang asyik mampu membius khalayak ramai. Musik dangdut menjadi salah satu jenis musik populer di Indonesia yang masih tetap eksis dan berkembang seiring berkembangnya jaman.
Jenis musik ini berhasil menghibur masyarakat. Saat ini, musik dangdut berkembang cukup pesat dan melahirkan berbagai jenis warna baru, seperti dangdut irama Melayu, rock, pop, remix, reggae, hingga koplo.
Namun, jauh sebelum dangdut menjadi jenis musik yang digemari masyarakat sekarang, dangdut memiliki sejarah yang panjang. Bagaimana awal mula musik ini bisa disebut dangdut? Bagaimana perkembangannya hingga berhasil menjadi salah satu musik yang memiliki banyak penggemar?
Sejarah dan Asal Mula Musik Dangdut
Menurut William H. Frederick dalam Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture, penamaan dangdut merupakan pembentukan kata yang menirukan suara gendang, yaitu “dang”. Sementara itu, “dut” menjadi ungkapan yang digunakan untuk menghina dari lapisan masyarakat kelas atas kepada rakyat miskin.
Konon, istilah dangdut dipercaya muncul pertama kali pada tahun 1970-an. Istilah tersebut berkembang dari ejekan yang dilakukan oleh anak-anak band rock di Bandung. Ejekan mereka ditujukan pada corak musik Melayu bergaya India yang disertai dengan tablah.
Anak-anak rock tersebut berasumsi bahwa musik dangdut merupakan musik untuk masyarakat menengah ke bawah. Kala itu, penggemar dangdut dianggap orang yang berkasta rendah dan tidak terpelajar.
Uniknya, meskipun dianggap sebagai bentuk ejekan, banyak penyanyi pop yang justru memutar haluan ke arah musik dangdut. Fenomena ini menjadi isu yang ramai saat itu, sampai menjadi topik menarik yang dibahas oleh para kritikus, bahkan ahli sosiologi dan psikologi.



Penamaan dangdut merupakan pembentukan kata yang menirukan suara gendang, yaitu “dang”

“dut” menjadi ungkapan yang digunakan untuk menghina dari lapisan masyarakat kelas atas kepada rakyat miskin

Konon, istilah dangdut dipercaya muncul pertama kali pada tahun 1970-an
Istilah tersebut berkembang dari ejekan yang dilakukan oleh anak-anak band rock di Bandung
Ejekan mereka ditujukan pada corak musik Melayu bergaya India yang disertai dengan tablah

Para ahli menyimpulkan, kecenderungan stereotip yang menggema di masyarakat bahwa dangdut adalah musik untuk masyarakat miskin, sebenarnya diakibatkan karena dangdut dianggap menjadi ‘alat untuk melepas’ rasa frustrasi.
Hal ini diperkuat dengan sebuah penelitian pada 1974, di mana radio-radio yang memutarkan lagu dangdut mayoritas didengar oleh masyarakat kelas bawah. Seperti yang dimuat pada Bali Post terbitan 24 Mei 1992, 84 persen pendengar dangdut berasal dari mereka yang memiliki latar pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Golongan yang berada pada lingkup tersebut dianggap memiliki rasa frustasi yang tinggi. Tidak heran, mendengarkan radio dengan lantunan dangdut dianggap sebagai pelipur lara dari rasa jengah terhadap kondisi yang mereka hadapi.
Pelopor Musik Dangdut Indonesia
Dangdut mendapat pengaruh besar dari Melayu. Terdapat tiga ragam yang populer pada awal 1940-an, yaitu keroncong, gambus, dan hawaian. Dari ketiga ragam tersebut, gambus lah yang menjadi cikal bakal dangdut.
Saat itu, terdapat orkes gambus berkembang menjadi orkes Melayu, di antaranya; Orkes Melayu (O.M.) Bukit Siguntang, O.M. Sinar Kemala, O.M. Kenangan, dan sebagainya. Dari peralatan yang digunakan, orkes tersebut lumrah memakai rebana, kemung (gong kecil), dan akordeon. Sementara itu, lirik yang dinyanyikan mirip dengan model pantun Melayu.

Pada 1950-an musik India mulai merambah dan masuk dalam tubuh musik Melayu
Pengaruh tersebut mulai terlihat dengan adanya syair pada lagu Boneka dari India ciptaan Husein Bawafie


Lagu ini dinyanyikan oleh Ellya Khadam, yang digadang-gadang menjadi lagu dangdut pertama meskipun belum muncul istilah dangdut


Dangdut perlahan mulai tumbuh subur
Ditambah lagi dengan pencampuran beberapa etnik Indonesia, seperti Jawa, Minangkabau, dan Tapanuli
Adanya percampuran tersebut membuat semakin meluasnya jenis dan bentuk musik dangdut itu sendiri

Pada 1950-an musik India mulai merambah dan masuk dalam tubuh musik Melayu. Pengaruh tersebut mulai terlihat dengan adanya syair pada lagu Boneka dari India ciptaan Husein Bawafie. Lagu ini dinyanyikan oleh Ellya Khadam, yang digadang-gadang menjadi lagu dangdut pertama meskipun belum muncul istilah dangdut.
Dangdut perlahan mulai tumbuh subur. Ditambah lagi dengan pencampuran beberapa etnik Indonesia, seperti Jawa, Minangkabau, dan Tapanuli. Adanya percampuran tersebut membuat semakin meluasnya jenis dan bentuk musik dangdut itu sendiri.
Tahun Emas Dangdut
Selama bertahun-tahun, dangdut mewarnai belantika musik Indonesia. Sampai saat ini pun dangdut masih mendapat tempat tersendiri di masyarakat. Para penyanyi dangdut mengorbit silih berganti, kontes dangdut pun masih laris di televisi.
Sejarah mencatat bahwa dangdut mencapai puncak kejayaannya pada era 1970-an. Saat itu, musik dangdut benar-benar mewabah di mana-mana, bahkan sampai ke Malaysia.
Film, acara televisi, dan radio senantiasa menyiarkan lagu-lagu dangdut. Di acara pesta, lagu yang dibawakan penyanyi yang tampil menghibur adalah dangdut. Bahkan di diskotik atau klub malam, musik yang diputar untuk menemani pengunjung menghabiskan malam bukanlah electronic dance music alias EDM seperti dewasa ini, melainkan dangdut.
Penyanyi dangdut paling top kala itu adalah Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih. Saking populernya dangdut, kaset-kaset bajakan berisi lagu-lagu mereka dan penyanyi lain pun merajalela. Jutaan kaset bajakan tersebar di berbagai daerah dan dimanfaatkan masyarakat untuk berdendang dan bergoyang dengan cara yang murah meriah, tetapi ilegal.
"Saya bisa menyebutkan bahwa lagu yang paling banyak dibajak adalah lagu-lagu dangdut," ujar Presiden Direktur perusahaan label rekaman Yukawi, Leo Kusima, seperti diwartakan Tempo edisi 5 Mei 1979.
Perlu diketahui juga, tidak semua orang yang hidup pada era 1970-an menyukai dangdut. Di tengah popularitasnya yang sedemikian tinggi, dangdut ternyata juga punya haters.
Sebagian orang menganggap dangdut adalah musik kampungan. Malah rocker Benny Soebardja sampai menjulukinya "musik tahi anjing". Dangdut dianggap sebagai cerminan atas selera orang-orang kelas bawah, liriknya jorok, dan penyanyinya tidak sopan. Berbeda dengan genre musik lain yang juga ngetop pada saat itu seperti rock, pop, hingga jazz yang lekat dengan citra elite.


- Sejarah mencatat bahwa dangdut mencapai puncak kejayaannya pada era 1970-an
- Saat itu, musik dangdut benar-benar mewabah di mana-mana, bahkan sampai ke Malaysia


Film, acara televisi, dan radio senantiasa menyiarkan lagu-lagu dangdut

Di acara pesta, lagu yang dibawakan penyanyi yang tampil menghibur adalah dangdut

Bahkan di diskotik atau klub malam, musik yang diputar untuk menemani pengunjung menghabiskan malam bukanlah electronic dance music alias EDM seperti dewasa ini, melainkan dangdut
Dangdut dan rock sempat berseteru, utamanya gara-gara ucapan Benny Soebardja yang menghina dangdut. Rhoma Irama kemudian pasang badan untuk membela genre musik yang telah membesarkan namanya dengan membalas menyebut rock sebagai 'terompet setan'.
Momen perseteruan tersebut pernah diceritakan Rhoma dalam podcast-nya yang ditayangkan di YouTube. Saat berbincang dengan Ikang Fawzi, penyanyi berjuluk Raja Dangdut itu menjelaskan bahwa perseteruan dangdut dengan rock bahkan sampai berbuah serangan fisik.
"Jadi kalau dangdut main, dilempari batu. Rock main, dilempari batu sama dangdut. Kayak begitu suasananya, karena ada ucapan-ucapan yang nggak etis dari Benny Soebardja," kata Rhoma.
Untungnya, perseteruan bisa diakhiri, apalagi diketahui bahwa media massa ternyata ikut menggoreng heboh-heboh soal ucapan Benny itu. Rhoma dan Benny pun bisa berdamai pada akhir 1980-an.
Terlepas dari segala anggapan negatif yang ada, betapa populernya dangdut pada 1970-an dan dekade setelahnya tetap tak bisa dibantah. Kaset lagu dangdut laku keras, orang-orang dari berbagai kalangan asyik berjoget, para penyanyi juga mengadu nasibnya di genre satu ini, sampai rocker sekelas Achmad Albar pun mau banting setir membawakan lagu dangdut.
Gembira Ria Dangdut di Masyarakat
Semua bergoyang, semua berdendang. Ada banyak alasan insting itu sekonyong-konyong muncul ketika mendengarkan musik dangdut. Mungkin karena musiknya, liriknya, atau gerak gemulai penyanyinya yang aduhai sehingga bisa menggoda penikmatnya ikut juga bergoyang.
Dangdut yang kerap dicap musik kampungan dan dinilai pantas di strata terendah, perlahan tapi pasti memiliki banyak penikmat dari berbagai elemen masyarakat. Kedekatannya dengan masyarakat terutama dari golongan menengah ke bawah membuat musik ini sering dijadikan magnet orang berkumpul di luar pagelaran konser, entah itu dalam pesta pernikahan, khitanan, atau yang paling sering banget dijumpai dalam pesta politik alias kampanye.
Gembira Ria Dangdut di Masyarakat
Sinisme terhadap dangdut tidak membuat para musisinya seret prestasi. Buktinya pada 1990-an, beberapa musisi dangdut pernah mencatatkan namanya di dunia internasional.
Itu artinya musik dangdut diterima
masyarakat di luar Indonesia.
Ratu dangdut, Elvy Sukaesih adalah salah satu contoh yang membawa dangdut menggoyang Jepang.
Pada 1992, ia diminta menyanyikan lagu Jepang, "Koi no Fuga" karya Rei Nakanishi. Namun, tidak dengan bahasa Jepang, melainkan dengan bahasa Indonesia.
Lirik versi bahasa Indonesia dari Rudy Anand pun tercipta yakni "Jangan Kau Pergi". Lagu itu dibawakan dengan cengkok dangdut dan direkam dalam bentuk compact disc (CD) dan dipasarkan di Jepang.



Meriah Dangdut dalam Kampanye Politik
Semua gembira, semua senang. Calon wakil rakyat berbaur dengan masyarakat dalam satu irama musik bangsa, yakni jbu dangdut. Musik dangdut dalam kampanye politik di Indonesia memang sudah ada sedari dulu.
Tidak begitu jelas kapan tepatnya, tapi kemungkinan pada 1970-an ketika popularitas genre musik ini tengah menanjak. Rhoma Irama yang dikenal sebagai raja dangdut bahkan pernah menyisipkan dangdut ketika ia ditunjuk sebagai juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kreativitas pun diperlihatkan Rhoma saat itu dengan mengutak-atik lagunya sendiri yakni “Begadang” agar relevan pada masa kampanye. Kata “begadang” dalam lirik diubah menjadi “menusuk”, seperti ini contohnya:
“Menusuk boleh menusuk,
Asal yang ada artinya,
Menusuk boleh menusuk,
Asal Ka’bah (lambang PPP) yang ditusuk,”
Semua datang, semua bersuka cita. Irama dangdut membuat badan hadirin yang datang dalam kampanye bergetar. Dangdut membuat siapa saja terlena sampai-sampai ada satu sindiran halus dari mantan Wakil Presiden RI, Soedharmono bagi massa yang datang dalam kampanye Golongan Karya (Golkar) di Semarang pada pertengahan 1997. Ia menilai massa datang hanya untuk dangdut saja, bukan untuk menyaksikan kampanye partainya.
“Kalian mau kampanye dangdut atau kampanye Golkar?” ujar Soedharmono kepada massa yang datang, dikutip dari ARTIKEL surat kabar Analisa berjudul “Dangdut Adalah Rajanya Musik Indonesia” (8/6/1997).
Dangdut Goyang Jepang
Sinisme terhadap dangdut tidak membuat para musisinya seret prestasi. Buktinya pada 1990-an, beberapa musisi dangdut pernah mencatatkan namanya di dunia internasional. Itu artinya musik dangdut diterima masyarakat di luar Indonesia.
Masih ingat Fahmi Shahab? Ia adalah penyanyi dangdut yang dikenal dengan tembang hitnya, “Kopi Dangdut”. Lagu dangdut versi “Moliendo Cafe” karya komposer Venezuela, Hugo Blanco itu tenar pada awal 1990-an seiring masuknya dangdut dalam acara-acara televisi di Indonesia. Berkat lagu “Kopi Dangdut” itulah Fahmi bisa mengadakan konser di tiga kota di Jepang pada 1991.
“Obsesi kami mau menjadikan musik dangdut sebagai musik internasional. Mau mensejajarkan irama musik ini dengan lagu-lagu pop, rock, atau reggae yang lebih dulu digemari masyarakat dunia,” ujar Makoto Kubota, produser Jepang yang membawa Fahmi ke negerinya, dikutip dari artikel Media Indonesia berjudul “Kopi Dangdut ke Jepang Manggung di Tiga Kota” (30/6/1991).
Ratu dangdut, Elvy Sukaesih adalah contoh lain yang membawa dangdut menggoyang Jepang. Pada 1992, ia diminta menyanyikan lagu Jepang, “Koi no Fuga” karya Rei Nakanishi. Namun, tidak dengan bahasa Jepang, melainkan dengan bahasa Indonesia.
Lirik versi bahasa Indonesia dari Rudy Anand pun tercipta yakni “Jangan Kau Pergi”. Lagu itu dibawakan dengan cengkok dangdut dan direkam dalam bentuk compact disc (CD) dan dipasarkan di Jepang.
“Mereka minta agar cara menyanyikan lagu itu jangan terbawa aksen pop, medok dangdutnya yang harus ditonjolkan,” kata Elvy dalam artikel harian Bernas berjudul “Internasionalisasi Dangdut Elvie” (11/9/1992).
Kontes Dangdut
Kelas dangdut di masyarakat semakin tinggi seiring diterimanya genre musik ini di sejumlah stasiun televisi nasional. Beragam kontes pencarian bakat pun digelar pada awal 2000-an hingga kini yang menyedot perhatian publik dan sekaligus melahirkan bintang dangdut top. Apa saja?
Berikut beberapa contohnya:
Kontes Dangdut Indonesia – MNC TV (2004 - sekarang)
Top Stars: Nassar Sungkar, Nilam Sari, Wardhatul Hasanah
D’Academy – Indosiar (2014 – sekarang)
Top Stars: Lesti Kejora, Fildan Rahayu, Hariyanto Tuna)
Bintang Dangdut – Indosiar (2015 – 2021)
Top Stars: Findi Artika, Putri Jamila, Tika Zeins
Liga Dangdut Indonesia – Indosiar (2018 – 2021)
Top Stars: Selfiyani, Rahmadonal Muhammad Iqhbal, Putri Maulana Andini


Apa Saja?
Berikut beberapa contohnya:

Kontes Dangdut Indonesia
MNC TV (2004 - Sekarang)

Kontes Dangdut Indonesia
MNC TV (2004 - Sekarang)

Kontes Dangdut Indonesia
MNC TV (2004 - Sekarang)

Kontes Dangdut Indonesia
MNC TV (2004 - Sekarang)
Periodisasi dan Maestro Dangdut Abad ke-20
Genre musik dangdut mulai merangkak dan memasuki masa kejayaan pada abad ke-20, terutama tahun 1980-an. Hal ini sesuai dengan “ramalan” Remy Sylado, seorang pengamat musik Indonesia yang mengungkapkan bahwa dangdut akan menjadi satu-satunya musik yang eksis pada tahun 2000-an. Alasannya, dangdut adalah genre musik yang sangat “Indonesiawi”.
Prediksi tersebut diambil dari koran Bali Post yang terbit pada 24 Mei 1992. Buktinya, dangdut hingga kini dinikmati oleh berbagai kalangan, walaupun genrenya cukup berbeda.
Periode 1970: Dangdut Religi
Jika ditarik kebelakang, genre musik dangdut memang memiliki periodisasi atau pembabakan yang sangat panjang. Misalnya mulai tahun 1970, Rhoma Irama telah hadir dengan band kebanggaannya, Soneta Group dengan membawakan lagu-lagu bertema dakwahnya yang sangat kental.
Beberapa lagu Rhoma Irama yang sangat dikenal oleh masyarakat bahkan masih sering di-remake ialah Keramat (1986), Judi (1987), Pertemuan (1995), Azza (2010), hingga Sekuntum Mawar Merah (1971) yang dibawakan oleh Elvy Sukaesih. Rhoma Irama dan karya-karyanya kerap mendapat berbagai penghargaan sejak tahun 1992.
Kontribusinya dalam perjalanan dangdut di Indonesia menjadikan Rhoma Irama dijuluki sebagai “Raja Dangdut Indonesia”. Sebab, keberadaan Rhoma Irama turut menginspirasi musisi-musisi di Indonesia untuk mengangkat dangdut, salah satunya Reynold Panggabean yang membuat grup musik O.M Tarantula, setelah keluar dari grup musik pop Melayu The Mercy’s.
Bahkan, Achmad Albar, salah satu anggota dari grup musik rock God Bless turut mengeluarkan album dangdut bertajuk Zakia pada 1977.
Eksistensi musik dangdut di tahun 1970-an berhasil menarik para musisi untuk tampil. Bahkan, Elvy Sukaesih yang saat itu menjadi penyanyi pendamping Rhoma Irama memutuskan keluar dari O.M Soneta dan menjalani solo karir.
Keputusannya tidak sia-sia, Elvy Sukaesih turut mendapat predikat sebagai “Ratu Dangdut Indonesia”.
Deretan karya Elvy Sukaesih yang melegenda di antaranya: “Gula-Gula” (2008), “Bisik-Bisik Tetangga” (2008), “Kereta Malam” (2005), “Pecah Seribu”, “Kejam” (2015), dan masih banyak karya lainnya.
Selain Elvy, musisi-musisi lain yang muncul pada saat itu di antaranya: Camelia Malik, Rita Sugiarto dengan “Hello Dangdut” (1990) dan “Pacar Dunia Akhirat”-nya, Ellya Khadam, dan Ida Laela. Pada pedangdut terus bermunculan seiring berjalannya waktu dengan hadirnya angkatan A. Rafiq, Jaja Miharja, Mansyur S dengan “Kopi Susu”-nya yang berkolaborasi dengan Elvy Sukaesih, Mara Karma, Meggy Z lewat “Lebih Baik Sakit Gigi”, dan Ona Sutra, hingga para pencipta lagu seperti Muchtar B. dan Leo Waldy turut naik daun.
Periode 1980: Pop-Dangdut hingga Disko Dangdut
Periode tahun 1980-an, genre lagu pop-dangdut muncul di Indonesia. Jenis genre ini meledak setelah Heidy Diana berhasil menjual kaset hampir satu juta copy. Keberhasilan Heidy Diana turut mengundang para produser kaset merekam pop-dangdut bermunculan.
Beberapa musisi seperti Hetty Koes Endang, Jamal Mirdad, Obbie Mesakh, Deddy Dores pun turut banting stir ke pop-dangdut. Selain itu, muncul penyanyi pop-dangdut lainnya seperti Itje Trisnawati, Evie Tamala, hingga Jhonny Iskandar.
Tahun 1992, dangdut mulai memasuki dunia club diskotik sehingga muncul istilah disko dangdut. Pada pembabakan ini, dangdut berhasil diterima dengan mudah oleh masyarakat, bahkan anak muda. Trend positif keberadaan musik dangdut berhasil memunculkan pedangdut angkatan terbaru, seperti Iis Dahlia, Evie Tamala, Ike Nurjanah, Mega Mustika, Dewi Purwati, Ayu Soraya, dan Yus Yunus.
Tentu tidak ketinggalan sosok pedangdut yang terbaru saat ini, seperti Ayu Ting-Ting, Inul Daratista, Lesti Kejora. Atau Denny Caknan, Happy Asmara, Via Vallen, dan Guyon Waton yang mempopulerkan dangdut Jawa ke kancah nasional.
Pandangan Masyarakat terhadap Lirik Dangdut
Meski dangdut berhasil membumi, musik dangdut tidak terlepas dari kritik dan kecaman dari para ahli. Misalnya saja, para penyanyi dangdut diidentikkan dengan goyangan yang sensasional sehingga dianggap kurang etis. Ditambah, para pedangdut acapkali mengenakan pakaian seksi.
Selain itu, kritikan terhadap dangdut juga hadir disebabkan lirik-liriknya yang dianggap menampilkan suasana kemiskinan, nelangsa, kepasrahan, duka, hingga pornografi.
Misalnya, lirik lagu “Gubuk Bambu” dianggap menggambarkan kemiskinan sekaligus kepasrahan seseorang. Perhatikan lirik berikut.
Di dalam gubuk bambu
Tempat tinggalku
Di sini kurenungi nasib diriku
Di dalam gubuk bambu
Suka dukaku
Di sini kudendangkan sejuta rasa
Pengarang menggambarkan kemiskinan dalam aku lirik. Tidak hanya di sana, aku lirik bahkan seolah-seolah pasrah dengan kondisi tersebut.
Kemudian, tema pornografi hadir dalam lirik lagu “Jagung Bakar”.
Yak, jagung, jagung, jagung
Jagung bakar, ada jagung rebus
Enak hujan-hujan makan jagung nih, Om
Tante, Ibu, Bapak, Nek, yok!
Mau yang panjang atau yang pendek
Terserah saja maunya Anda
Mau yang besar atau yang kecil
Yang tua enak, yang muda asyik
Meski unsur pornografi hadir secara tersirat, pembaca seolah-olah langsung tahu apa maksud dari pengarang. Lirik lagu ini dianggap memiliki makna yang ambiguitas dan condong mengarah ke arah pornografi.
Pada lagu-lagu dangdut Jawa, lirik yang dihadirkan juga tidak jauh dari perselingkuhan. Sebut saja lagu Denny Caknan yang berjudul “Los Dol” dan “Sugeng Dalu” atau Guyon Waton dalam lagunya “Klebus” dan “Perlahan”. Akan tetapi, genre seperti ini justru disukai kalangan anak muda zaman sekarang.
Terlepas dari hal tersebut, jangan lupakan Rhoma Irama berhasil memberikan warna lain bagi dunia dangdut melalui lagu-lagunya yang bersifat dakwah, mendidik, dan menasihati.
Dangdut, Kini dan Nanti
Dangdut merupakan genre musik tradisional asal Indonesia yang populer. Kepopuleran dangdut pertama kali muncul pada akhir tahun 1960-an. Pada zaman modern ini, perkembangan musik dangdut masih begitu pesat.
Dalam era modern, musik dangdut telah diadopsi oleh beberapa kalangan, pesta musik dangdut serta kompetisinya masih cukup populer. Bahkan melintasi zaman karena generasi Z sudah mulai ramah dengan musik dangdut.
Pada acara Dangdut KPOP 29ther yang diselenggarakan oleh Indosiar, ada beberapa orang yang menarik perhatian seperti Fildan dan Bang Yedam. Selain itu juga ada Lady Rara dan juga Sridevi yang turut meramaikan panggung.
Kontribusi Bang Yedem dalam penambahan bahasa Korea pada lirik lagu memberikan kesan yang lebih universal dan memperluas daya tarik lagu. Hal ini menjadi langkah yang bagi dalam melestarikan musik dangdut sebagai warisan budaya nasional.
“Dengan menggabungkan elemen-elemen budaya K-Pop yang tengah digandrungi oleh generasi Z, promosi lagu-lagu dangdut dengan sentuhan modern ini akan semakin memperluas jangkauan dan pemahaman akan musik dangdut di kalangan masyarakat, terutama generasi muda,” kata Mario V & Kistyarini dalam Dangdut Resmi Diusulkan sebagai Warisan Budaya tak Benda dari Indonesia ke UNESCO.

Jadi
Warisan
Dunia
Kuatnya pengaruh
dangdut di Indonesia,
membuat beberapa
orang menjadikannya
sebuah brand untuk
menarik konsumen.
Tidak hanya di Indonesia,
hal ini dilakukan
beberapa orang
ke pasar luar negeri.



Hal ini dilihat dari bisnis Cafe Dangdut yang dibuka oleh penyanyi dangdut Fitri Carlina. Cafe yang menyajikan kopi asal Indonesia ini dibuka olehnya di New York Amerika Serikat.




Dangdut memang
sekarang bukan
hanya milik
Indonesia, tetapi
juga sudah menjadi
warisan dunia.
Hal ini terlihat dari upaya
pemerintah mengusulkan
dangdut sebagai warisan
budaya tak benda Indonesia
kepada UNESCO
pada 2022 lalu.
Hal ini terlihat dari pengguna TikTok Indosiar yang memberikan apresiasi kepada pengemasan dangdut dengan sentuhan K-Pop. Mereka tidak hanya mengomentari aranseman yang begitu catchy, tetapi juga kesesuaian lagu dengan bahasa Korea.
“Komentar ini menunjukkan bagaimana penggabungan dua genre musik yang berbeda bisa menciptakan sesuatu yang menarik dan relevan bagi pendengar,” ucapnya.
Genre Lain
Selain K-Dangdut, sebelumnya sudah lebih terkenal subgenre dari dangdut yaitu dangdut koplo. Istilah koplo sendiri masih dalam batas abu-abu. Karena bila ditelusuri dari KBBI ada dua arti dari kata ini yaitu dungu atau koplo pil.
Karena itulah istilah ini berasal dari pil koplo, di mana musik koplo adalah cara mengungkapkan perasaan teler dengan gaya tarian yang dianggap orang sebagai hal yang sulit dipercaya atau ajaib.
Michael H.B Raditya dalam Dangdut Koplo: Selera Lokal Menjadi Selera Nasional mengatakan dangdut koplo tercipta pada awal sampai pertengahan 1990-an, dan meledak pada era pasca Soeharto.
Pada faktor musik, dangdut koplo sangat kental dengan pengaruh berbagai gaya musikal termasuk metal, house, jaipongan. Pada iringan musik, didominasi tabla/kendang yang bersuarakan dang lebih dominan dibandingkan dut.
Perkembangan dangdut koplo yang awalnya berada di Jawa Timur, sekarang makin luas di daerah Pantura. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya grup dangdut koplo di sepanjang Pantura. Persebaran ini makin meluas setelah munculnya Inul Daratista.
“Persebaran dangdut koplo makin luas bahkan sporadis, dangdut koplo mempunyai tempat tersendiri pada pertelevisian Indonesia, bahkan dangdut koplo menggantikan peran dangdut di televisi,” jelasnya.
Jadi Warisan Dunia
Kuatnya pengaruh dangdut di Indonesia, membuat beberapa orang menjadikannya sebuah brand untuk menarik konsumen. Tidak hanya di Indonesia, hal ini dilakukan beberapa orang ke pasar luar negeri.
Hal ini dilihat dari bisnis Cafe Dangdut yang dibuka oleh penyanyi dangdut Fitri Carlina. Cafe yang menyajikan kopi asal Indonesia ini dibuka olehnya di New York Amerika Serikat pada tahun 2022.
“Meskipun namanya dangdut. Cafe Dangdut kami tampilkan dengan konsep kontemporer. Bisa membawa nama dangdut hingga ke New York, seperti hal yang mustahil, tapi ternyata bisa kami lakukan,” jelas Fitri.
Dangdut memang sekarang bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga sudah menjadi warisan dunia. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah mengusulkan dangdut sebagai warisan budaya tak benda Indonesia kepada UNESCO pada 2022 lalu.
Sebenarnya ini bukan upaya pertama. Pada 2012 lalu upaya serupa dilakukan oleh Rhoma Irama saat menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia. Ketika itu ia berkomitmen membuktikan musik dangdut asli Indonesia.
“Ada bukti penelitian yang dilakukan oleh sosiolog dari University Of Pittsburgh dan juga Jepang, ini bisa dijadikan acuan bahwa dangdut itu dari Indonesia, bukan India,” kata Rhoma.