- Gowas-Gowes, Yuk! Budaya Bersepeda Orang Indonesia
- Masuk Hindia Belanda
- Simbol Kemapanan
- Tokoh yang Gemar Bersepeda
- Geliat Industri Sepeda Indonesia
- Setor Muka Sepeda Indonesia di Ajang Dunia
- Boom Sepeda saat Pandemi
- Demi Hobi, Kompetisi, Profesi, Lingkungan, dan Kepariwisataan
- Perhatian Pemerintah terhadap Pesepeda, Sudah Cukup?

Gowas-Gowes, Yuk! Budaya Bersepeda Orang Indonesia
Sepeda telah menjadi bagian dari budaya masyarakat dunia. Tidak hanya sebagai alat transportasi untuk mengantar manusia, sepeda sudah bertransformasi menjadi gaya hidup bagi masyarakat.
Hal yang menarik adalah Indonesia juga memberikan sumbangsih dalam kelahiran sepeda. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peran dari letusan Gunung Tambora pada 5 April 1815 dalam kelahiran sepeda.
Diketahui Gunung Tambora memuntahkan isi perutnya dengan letusan spektakuler sampai bulan Juli 1815, ini adalah erupsi terbesar yang dicatat sejarah, menewaskan 82.000 orang dan menyemburkan begitu banyak abu di atmosfer.
Letusan itu memicu pemanasan global, suhu bumi meningkat 3 derajat celcius. Eropa saat itu menghadapi cuaca buruk mulai dari hujan salju, langit terus-menerus gelap, panen gagal dan Eropa memasuki tahun buruk.
Cuaca yang buruk ini menyebabkan transportasi yang biasanya menggunakan kuda tidak berfungsi. Banyak kuda-kuda yang disembelih, bukan saja karena majikannya butuh makan tetapi juga susah mencari pakan untuk hewan tersebut.
Di tengah kondisi yang sulit, pria asal Jerman bernama Karl Drais membuat alat sederhana beroda dua yang kemudian dinamakan draisine. Alat sederhana ini dibuat dari bahan kayu dan belum mempunyai pedal.
“Satu-satunya cara untuk mengendarai sepeda ini adalah dengan menjejakan kaki ke tanah agar draisine mau meluncur,” tulis Ken McGin dalam tulisannya berjudul The Origin of Bicycle.
Karl Drais memulai sejarah baru bepergian dengan sepeda pada 12 Juni 1817 sepanjang 7,5 kilometer di jalanan Mannheim-Schwetzingen di Jerman. Setelah itu, sepeda terus berevolusi dengan ditambahkan engkol dan pedal di roda depan.
Masuk Hindia Belanda
Setelah diproduksi massal di Eropa pada 1863, sepeda lalu masuk ke Indonesia yang dulu masih disebut Hindia Belanda. Walau masih samar, awal mula masuknya sepeda di Hindia Belanda diperkirakan pada abad ke 20.
Hal ini berdasarkan poster yang menggambarkan keberadaan sepeda di Hindia Belanda pada tahun 1912. Pada poster itu diperlihatkan gambar seorang serdadu militer Belanda berpatroli keliling desa dengan sepeda.
“Di belakangnya, menyusul puluhan anak buahnya yang juga bersepeda. Dan di samping kiri, tergambar suasana orang-orang pedesaan yang terpesona dengan tampilan patroli bersepeda itu,” tulis Ahmad Arif dalam buku Jelajah Indonesia dari Sepeda.
Pemakai sepeda pada awal beredarnya di Hindia Belanda adalah pegawai kolonial Belanda. Mereka memberikan inventaris kepada aparatnya terutama kalangan militer, karena itu sepedanya juga disesuaikan seperti ada tempat untuk menaruh pedang dan senapan.
Selain untuk kalangan militer, sepeda juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang menjadi pegawai pamong praja. Sepeda juga dipakai oleh kalangan misionaris dan bangsawan atau keluarga kerajaan.
“Sedangkan kalangan masyarakat umum masih sedikit yang memakainya,” tulisnya.
Simbol Kemapanan
Sepeda yang banyak dipakai waktu itu kebanyakan produksi Belanda seperti Fongers, Batavius, Sparta, dan Gazelle, lalu masuk juga sepeda produksi Inggris seperti Humber, Philips dan Raleigh. Tidak ketinggalan, Jerman masuk dengan Goricke dan Fahkrad.
Arif dalam buku tersebut menjelaskan sepeda-sepeda yang bertebaran di jalanan Hindia Belanda diproduksi sekitar tahun 1918-1919. Booming-nya sepeda saat itu tidak lepas dari kondisi ekonomi yang stabil.
“Karena waktu itu perdagangan lancar, perekonomian stabil dan pengiriman barang juga lancar,” paparnya.
Hingga awal kemerdekaan sepeda masih menjadi simbol kemajuan rakyat kebanyakan. Hal ini tercatat dalam tulisan Ronald Stuart Kain dalam arsip National Geographic yang menggambarkan siswa-siswi dari kelas terdidik yang menggunakan sepeda.
Firman Lubis dalam bukunya yang berjudul Jakarta 1950-an juga menggambarkan kondisi Jakarta yang penuh dengan sepeda di tahun 1950. Menggunakan sepeda ketika itu masih relatif aman, karena kondisi lalu lintas yang tidak padat.
“Hampir semua remaja menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah atau bermain. Saya sendiri menggunakan sepeda mulai dari SMP, SMA hingga mahasiswa di tahun 1960-an,” paparnya.
Setelah diproduksi massal di Eropa pada 1863, sepeda lalu masuk ke Indonesia yang dulu masih disebut Hindia Belanda. Walau masih samar, awal mula masuknya sepeda diperkirakan pada abad ke-20.


Aktivitas bersepeda mulanya terlihat dari pegawai pemerintahan, tapi setelahnya rakyat biasa juga melakukannya. Firman Lubis dalam memoar Jakarta 1950-an bahkan menyebut budaya bersepeda begitu kentara di ibu kota pada awal-awal masa kemerdekaan.

Aktivitas bersepeda mulanya terlihat dari pegawai pemerintahan, tapi setelahnya rakyat biasa juga melakukannya. Firman Lubis dalam memoar Jakarta 1950-an bahkan menyebut budaya bersepeda begitu kentara di ibu kota pada awal-awal masa kemerdekaan.
Tokoh yang Gemar Bersepeda
Kegemaran bersepeda juga ikut menjangkiti para tokoh-tokoh bangsa, Ir Soekarno salah satunya. Pada bukunya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dia menjelaskan sudah suka naik sepeda sejak menjadi siswa HBS di Surabaya tahun 1910.
Ketika itu, jarak rumah kosnya dengan sekolah sekitar satu kilometer. Bung Karno yang ketika itu tidak mempunyai sepeda terkadang berjalan kaki ataupun membonceng temannya untuk menuju sekolah.
“Setiap anak mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak,” paparnya.
Tokoh besar lainnya yang kerap menggunakan sepeda adalah mantan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Hoegeng Iman Santoso (1968-1971). Hoegeng kerap menggunakan sepeda onthelnya untuk berkeliling Jakarta.
Pada buku karya Suhartono yang berjudul Hoegeng - Polisi dan Menteri Teladan menceritakan momen Hoegeng yang tengah menggunakan sepeda onthel untuk berkeliling kota Jakarta.
Saat itu, Hoegeng tengah menganggur setelah pulang bertugas di Kota Medan, Sumatra Utara. Walau menganggur, pria kelahiran 14 Oktober 1921 ini tetap menjalani hari-harinya seperti biasanya.
“Sebagai pengangguran, Hoegeng banyak menghabiskan waktunya bersama dengan keluarga, bermain musik, atau pun melukis dan berjalan-jalan dengan sepeda ontelnya di sekitar rumahnya di kawasan Menteng,” catat Suhartono.
Hal yang sama dilakukan oleh mantan Perdana Menteri, Mohammad Natsir (1950-1951). Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Masyumi ini memang terkenal sebagai pribadi bersahaja dan sederhana.
Misalnya ketika dia mengundurkan diri sebagai PM pada tahun 1951. Natsir lalu menyerahkan semua fasilitas yang diberikan negara, termasuk mobi. Natsir memilih naik sepeda dengan supirnya untuk pulang ke rumah.
“Mobil dinas ditinggal, Natsir membonceng sepeda yang dibawa sopirnya menuju rumah jabatan (kini, Gedung Pola di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat). Dari sini, dia mengajak keluarganya pindah ke rumah pribadinya di Jalan H.O.S Cokroaminoto 46,” dikutip dari tulisan Pribadi Bersahaja M.Natsir “Cukuplah yang Ada. Jangan Cari yang Tiada”.
Geliat Industri Sepeda Indonesia
Fenomena demam bersepeda tidak hanya dapat dilihat dari aktivitas masyarakat. Dari segi produksi sepeda pun, Indonesia turut andil menyumbang produk ke pasar global. Kualitas komponen sepeda asal Indonesia telah dikenal di kancah internasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2017—2021, ekspor komponen sepeda dari Indonesia ke dunia mengalami tren positif, sebesar 13,54 persen. Sementara itu, nilai pertumbuhan ekspor 2020—2021 mencapai 62,55 persen dengan nilai USD1,12 miliar.
Produk sepeda lokal Indonesia bisa diadu di kelas internasional. Beberapa jenama sepeda Indonesia bahkan pernah digunakan dalam event internasional.
Sebut saja Polygon, salah satu jenama yang telah melegenda di kalangan masyarakat Indonesia. Merek ini sudah berkibar ke berbagai negara.
Bahkan, masyarakat Indonesia banyak yang mengira merek ini merupakan produk luar negeri. Padahal, Polygon adalah produk asli Indonesia, tepatnya Sidoarjo, Jawa Timur.
Tidak heran sebab Polygon memang sejak awal telah dirancang untuk memproduksi komponen sepeda berdasarkan pesanan merek-merek terkenal dari luar negeri. Berdiri sejak 1987, PT. Insera Sena—produsen Polygon—belum memiliki merek sendiri. Fokus mereka adalah peningkatan kualitas, yang salah satu caranya adalah dengan banyak menerima order dari luar negeri.
Maka, pada 1994, saat PT. Insera Sena mengenalkan Polygon, yang mereka tawarkan adalah kualitas. Saat sepeda lain mematok harga paling mahal Rp200 ribu pada tahun 1999, sepeda Polygon berani menawarkan harga sebesar Rp500 ribu per unit.
Bukan berarti Polygon langsung mendapat pangsa pasar yang besar. Sebagai merek yang baru dikenalkan, Polygon harus mengatur berbagai strategi agar produknya dikenal di dalam negeri.
Yang perlu digarisbawahi, strategi-strategi Polygon tidak pernah dilakukan dengan menurunkan harga ataupun kualitas. Cermatnya strategi pemasaran yang dilakukan menjadikan Polygon berkembang pesat.
“Dari sebuah ‘dapur’ seluas 6 hektar dan sekelompok riders, kami menggabungkan craftsmanship, pengetahuan, dan teknologi untuk memproduksi hampir satu juta sepeda per tahun, yang dimiliki oleh jutaan orang di seluruh dunia,” ungkapnya, dilansir dari laman resmi Polygon.

Geliat industri sepeda Indonesia
Sepeda buatan Indonesia memikat hati penghobi gowes dalam maupun luar negeri.
Tak hanya soal desain, tapi beberapa jenama antara lain seperti Polygon, Element, Pacific memiliki kualitas komponen berstandar internasional.



Mana favorit kalian?
Salah satu prestasi Polygon ialah keberhasilannya mencatatkan posisi kedua pada Industry Trophy di Trophy of Nations Enduro World Series 2022 lewat Polygon Collosus N9.
Selain Polygon, Jawa Timur juga memiliki jenama sepeda yang tidak kalah unggul, yakni Wimcycle. Langkah awal namanya tidak jauh berbeda dengan Polygon yang lebih dulu menyediakan komponen sepeda pada 1972.
Baru pada 1976, Wimcycle mulai memperluas cakupannya dengan memproduksi sepeda beserta komponennya di Kawasan Industri Desa Bambe Driyorejo. PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycles Industries—produsen Wimcycle—berhasil mendongkrak namanya lewat sepeda BMX.
Kini, merek ini telah mengekspor sepeda ke lebih dari 20 negara di seluruh dunia.
Beralih dari Jawa Timur, Jawa Tengah juga tidak ketinggalan untuk menyumbang merek sepeda. PT. Roda Pasifik Mandiri melalui mereknya, Pacific telah berkiprah sejak 1995. Pabrik yang berada di Semarang, Jawa Tengah ini dikenal dengan produknya berupa sepeda mini tipe Casella.
Menyusul Pacific, merek sepeda Element kemudian mendirikan pabrik di Kendal, Jawa Tengah. Berdiri tahun 2008, Element telah menunjukkan kualitas yang tidak kalah unggul. Buktinya, pada 2019, perusahaan ini mampu meraih penjualan hingga 150 ribu unit dan setiap harinya bisa menghasilkan 850—1.000 unit sepeda.
Geliat industri sepeda yang menunjukkan tren positif ini kemudian membuat para produsen sepeda bersepakat membentuk Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI). Pada awal pembentukan asosiasi, yakni awal dekade 90-an hingga awal tahun 2012, tercatat lebih dari lima puluh pengusaha sepeda menjadi anggota.
Setor Muka Sepeda Indonesia di Ajang Dunia
Sepeda balap BMX dengan merek Thrill asal Gresik, digunakan dalam ajang olahraga terbesar, Olimpiade Tokyo 2020. Meski tidak digunakan oleh atlet Indonesia, sepeda tersebut mewakili nama Indonesia dan dipakai oleh atlet Prancis yaitu Axelle Etienne serta atlet Latvia yaitu Vineta Petersone.
Menyusul Thrill, sepeda Polygon digunakan dalam Sea Games 2023 di Kamboja. Tidak hanya digunakan, sepeda itu juga mengantarkan atlet-atlet Indonesia meraih medali. Polygon Syncline C Series mengantarkan Sayu Bella Sukma Dewi meriah dua medali emas untuk Indonesia.
Atlet lain, Aiman Cahyadi juga menggunakan buatan anak bangsa, Polygon Helios. Sepeda khusus berwarna merah-putih ini menemani Aiman meraih medali perak.
Boom Sepeda saat Pandemi
Pagebluk Covid-19 sempat membuat tren bersepeda meningkat pesat. Bukan hanya Indonesia, laporan yang dituliskan Angela Francke dalam jurnal National Library of Medicine, penjualan sepeda meningkat hingga 57 persen di periode April 2020 dan April 2021 di Amerika Serikat.
Di Prancis, total sepeda yang terjual pada 2020 meningkat sebanyak 1,7 persen menjadi 2,68 juta. Penjualan e-bike juga meningkat hingga 31 persen.
Sementara itu, di Britania Raya, penjualan pasar sepeda tumbuh hingga 60 persen di awal pandemi. Jumlah tersebut meningkat lebih dari 52 persen di paruh pertama 2021. Bahkan, tingginya permintaan sepeda sempat membuat kelangkaan stok di sejumlah wilayah.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia, tren serupa juga terlihat jelas. Pembatasan sosial yang dilakukan hingga dibatasinya penggunaan transportasi umum membuat masyarakat melirik sepeda sebagai opsi transportasi yang aman dan menyehatkan.
Penjualan sepeda melalui daring menunjukkan kenaikan. Melalui Kompasdata, per Maret hingga Juni 2020, Bukalapak mencatatkan peningkatan transaksi penjualan sepeda hingga 156 persen. Kenaikan jumlah pembeli ini juga terjadi di toko daring lainnya, Tokopedia dan Blibli.
Pandemi benar-benar membuat sistem dunia berubah. Social distancing atau pembatasan sosial mendorong masyarakat untuk mengubah pilihan transportasi mereka. Di masa itu, orang-orang cenderung menghindari transportasi umum karena khawatir tertular virus.
Salah satu opsi yang digunakan untuk mempermudah mobilisasi dengan aman tanpa khawatir tertular virus ialah bersepeda. Sepeda menjadi alat transportasi sederhana yang memungkinkan orang tetap menjaga jarak aman saat bepergian. Belum lagi situasi jalanan yang cenderung lenggang selama periode pembatasan sosial membuat pesepeda dapat menikmati olahraga ini dengan nyaman.
Aktivitas bersepeda bukan hanya sebagai sarana olahraga dan menjaga kesehatan, tetapi juga hiburan, mengisi waktu luang, hingga memperluas relasi. Temuan Gideon Herman Wibisono dkk. (2022) dalam jurnal JISEAPE, di Surakarta, masyarakat mengaku memilih bersepeda semasa pandemi karena dianggap menyenangkan, menyehatkan, dan sangat mudah untuk diakses.
Sepeda buatan Indonesia memikat hati penghobi gowes dalam maupun luar negeri.

Pandemi covid-19 yang terjadi pada 2020-2021 lalu rupanya justru menyadarkan gaya hidup sehat.
Kegiatan bersepeda pun booming, tak terkecuali di Indonesia. Toko sepeda daring maupun laring ketiban untung imbas ke-fomo-an publik yang ingin menjajal aktivitas gowes di jalan-jalan lengang karena pembatasan sosial.
Contohnya pada periode Maret hingga Juni 2020. Kompas Data menyebut Bukalapak mencatatkan peningkatan transaksi

Kawan GNFI ikut beli juga enggak tuh?
Kota besar hingga kecil seakan berlomba-lomba untuk “meramaikan” tren bersepeda. Di Jakarta, jumlah pesepeda melonjak pesat selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Bahkan, tercatat ada kenaikan hingga 1.000 persen jumlah pesepeda di jalur-jalur utama Jakarta antara 2019 dan 2020. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pun mendorong tren ini dengan mengembangkan jalur khusus sepeda di berbagai titik yang dianggap strategis.
Data yang dipublikasikan Kompas pada 23 Juni 2020 menunjukkan, toko-toko sepeda di Jakarta dan sekitarnya sempat kehabisan stok sepeda. Sepeda lipat dan sepeda gunung menjadi jenis sepeda yang banyak dicari masyarakat.
Banyak masyarakat yang berani merogoh kantong dari jutaan hingga puluhan juta rupiah untuk membeli sepeda. Sepeda bermerek dengan banderol harga puluhan juta pun tak luput dari incaran.
Surat kabar Kompas terbitan 9 Juli 2020 turut mengabarkan bagaimana tren bersepeda di masa pandemi membuat bengkel-bengkel di Bandung dipenuhi oleh permintaan modifikasi sepeda. Bagi sebagian orang, sepeda bukan lagi sekadar alat transportasi atau olahraga, melainkan bagian dari investasi, identitas, dan kreasi diri.
Demi Hobi, Kompetisi, Profesi, Lingkungan, dan Kepariwisataan
Ada masanya bersepeda menjadi kegiatan yang biasa bagi orang Indonesia. Dari masyarakat perkotaan sampai pedesaan kerap aktif gowas-gowes ke tempat tujuannya masing-masing dengan sepeda kesayangan. Hanya saja setelah teknologi kendaraan bermotor hadir dan dipasarkan secara bebas, sepeda sebagai moda transportasi pribadi menjadi kalah saing dan sedikit terpinggirkan dari keriuhan jalanan kota ataupun desa di Indonesia.
Capek, kalah cepat, tak praktis, dan berbagai macam alasan yang lain membuat popularitas pemakaian sepeda menjadi menurun. Semakin seringnya kemanjaan yang dihadirkan kendaraan bermotor untungnya tidak membuat pengguna sejati sepeda berpaling. Jika tidak dijadikan sebagai alat transportasi kebutuhan rumah tangga, sepeda pun bisa dijadikan sekadar olahraga hobi dan kompetisi untuk mempererat silaturahmi.
Contoh dari hobi bisa dilihat dengan menjamurnya komunitas bersepeda dari mulai level nasional sampai regional. Pemandangan biasa pun acap kali terlihat dari mereka yang kerap berseliweran di jalan-jalan kota dengan sepeda dan seragam komunitas hasil desain sendiri, entah ketika ada event atau agenda bentukan kelompok sendiri.
Good News From Indonesia pernah suatu waktu menjumpai salah satu komunitas sepeda di wilayah Pulo Gebang, Jakarta Timur, yaitu Sadar Bicycle Community pada 2020 lalu. Dalam sebuah obrolan akrab, salah satu pembina komunitas tersebut menilai bersepeda bersama dalam lingkup komunitas sepeda esensinya adalah sederhana, yakni membentuk kebersamaan mencapai tempat tujuan dengan cara yang sehat.
Para penghobi sepeda tidak melulu gowes dengan cara kekeluargaan saja. Terkadang adu kebut bak atlet Olimpiade atau Tour de France mereka lakukan demi meraih gengsi atau hadiah ala kadarnya. Kompetisi sepeda mingguan tak resmi Salasakahiiji di Bandung bisa menjadi contohnya. Lewat kompetisi tersebut, para pesepeda diajak bersaing melibas rute pusat Kota Bandung sampai Lembang yang jaraknya cuma 11 kilometer, tapi dengan elevasi yang membuat lutut perih yakni 1.200 meter.
Di skala yang lebih besar, juga ada kompetisi bernama Bentang Jawa yang pertama kali digelar pada 2021 dan konsisten digelar setiap tahunnya. Para pesepeda ditantang menaklukkan jarak sekitar 1.500 kilometer antara Anyer hingga Banyuwangi. Pihak Bentang Jawa menegaskan tidak ada hadiah yang dijanjikan kepada mereka yang lebih dulu sampai titik finis. Meski begitu, nyatanya antusiasme para penghobi sepeda – terutama goweser jarak jauh yang berjiwa petualang – tetap tinggi untuk turut serta dalam kompetisi tersebut tentu dengan bekal alasan masing-masing.



Satu hal yang layak ditegaskan ialah sepeda kuat kaitannya sebagai transportasi penyambung hidup. Di samping atlet profesional, sepeda artinya bagi orang-orang biasa semisal bapak-bapak di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di tengah ketatnya persaingan melawan kendaraan bermotor, mereka masih memiliki semangat dan daya energi mencari lembar-lembar rupiah sebagai tukang ojek sepeda. Selain itu, jangan lupa bisnis kepariwisataan kerap didukung dengan fasilitas sepeda. Seperti yang dilakukan Muntowil dengan Towilfiets-nya di Yogyakarta yang mana ia menyediakan sepeda onthel bagi wisatawan untuk tur keliling desa.
Kesadaran akan lingkungan juga memicu pemakaian sepeda pada era modern. Komunitas semacam Bike to Work (B2W) Indonesia lantas muncul di mana mereka menggalakkan kampanye pergi bekerja dengan cara bersepeda sebagai salah satu bentuk kepedulian kesehatan dan lingkungan.
Banyak tantangan untuk mengembalikan budaya bersepeda masyarakat Indonesia. Biasanya, cuaca menjadi alasan klasik untuk tidak memakai transportasi ini dalam keseharian. Namun, harapan untuk menuju ke sana kelihatannya masih ada. Booming sepeda pada pandemi Covid-19 lalu dan semakin sadarnya orang Indonesia akan kesehatan dengan cara berolahraga mendorong pemerintah ikut mendukung kebijakan pengadaan jalur sepeda di beberapa kota di Indonesia.
Perhatian Pemerintah terhadap Pesepeda, Sudah Cukup?
Meski jelas kalah banyak dibandingkan mereka yang mengandalkan kendaraan bermotor, masyarakat yang memilih sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Pertanyaannya, sudahkah pemerintah memberikan perhatian yang memadai kepada para pesepeda ini, utamanya dalam hal penyediaan fasilitas dan jalan?
Jika Kawan melihat kota-kota besar di Indonesia, fasilitas untuk pesepeda sebetulnya bukan hal asing. Pada era Hindia Belanda, sudah ada pembagian lajur yang menempatkan lajur ketiga dari sebelah kiri jalan untuk pesepeda. Kini, sejumlah pemerintah daerah di kota-kota besar juga sudah menyediakan jalur khusus sepeda. Jakarta misalnya, punya jalur khusus sepeda di jalan protokol seperti Jalan Sudirman yang bisa dibilang "mewah" karena dilengkapi dengan pembatas beton yang memisahkan pesepeda dengan kendaraan lainnya.
Di Yogyakarta yang kerap disebut kota sepeda, fasilitas bagi pesepeda bisa ditemukan hingga ke pelosok kota meski bentuknya lebih sederhana. Di berbagai penjuru, terdapat rambu penunjuk arah jalur alternatif khusus bagi pesepeda. Sementara itu di luar Jawa, fasilitas bagi pesepeda juga bisa ditemui. Misalnya di Banjarmasin, pemerintah menyediakan jalur khusus di sejumlah titik.
Itu baru jalur sepeda, belum lagi tempat parkirnya. Sejak awal 2000-an, sejumlah perkantoran di Jakarta menyediakan parkiran khusus sepeda. Universitas-universitas besar pun tak ketinggalan menyediakan parkir sepeda untuk civitas academica yang bergowes ria ke kampus.

Dengan sudah adanya fasilitas pagi pesepeda di berbagai kota, pertanyaannya, apakah itu sudah cukup memadai?
Pertanyaan tersebut tentu sepatutnya dijawab oleh mereka yang menjadikan bersepeda sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari. Untuk itu, GNFI berbincang dengan pegiat sepeda yang juga Ketua B2W Indonesia 2016-2021 dan co-founder Indonesia Cycling Embassy, Poetoet Soedarjanto. Menurutnya, fasilitas bagi pesepeda di kota-kota di Indonesia sebetulnya belum memadai.
Poetoet menyoroti aspek keamanan, kenyamanan, dan aksesibilitas dari fasilitas yang saat ini sudah tersedia. Secara khusus, ia menyinggung soal adanya sejumlah kasus kecelakaan yang melibatkan pesepeda, yang mana ini menandakan keamanan dan keselamatan pesepeda di jalan masih riskan.
"Kita perhatikan saja yang paling utama yaitu keamanan dan keselamatan, seperti parkiran sepeda yang aman dan nyaman hampir tidak menjadi perhatian di banyak kota, lalu juga soal keselamatan bagi pesepeda," ujar Poetoet.
Soal seperti apa fasilitas yang selayaknya diberikan kepada para pesepeda sesungguhnya sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Dipaparkan Poetoet, UU tersebut pada intinya mengatur soal fasilitas pesepeda dari tiga aspek yang telah disebutkannya, plus pembudayaan bersepeda yang intinya adalah mendorong masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas bagi pesepeda yang sudah ada.
Di mata Poetoet, Jakarta masih jadi yang terdepan dalam penyediaan fasilitas bagi pesepeda. Jakarta dianggap layak jadi contoh bagi daerah-daerah lain kendati tetap ada hal yang membutuhkan peningkatan.
"Walaupun masih ada yang harus menjadi perbaikan khususnya faktor penegakan hukum dan keselamatan jalan, yang layak ditiru dari DKI adalah: jalur sepeda terproteksi, jaringan atau rute, dan fasilitas parkir," pungkas Poetoet.