- Melayani Negeri dari Udara: Evolusi Bandara Indonesia Menuju Kelas Dunia
- Masa Awal dan Perkembangan Jumlah Bandara
- Modernisasi Infrastruktur: Dari Terminal ke Ekosistem
- InJourney dan Revolusi Pengalaman Penumpang
- Bandara Indonesia di Mata Dunia
- Pertumbuhan Penumpang dan Dampak Ekonomi
- Paradoks Bandara Internasional
- Daya Beli dan Harga Tiket Pesawat
- Tantangan, dan Pembelajaran
- Masa Depan Kebandaraan Indonesia

Melayani Negeri dari Udara: Evolusi Bandara Indonesia Menuju Kelas Dunia
By Akhyari Hananto
Indonesia adalah negeri kepulauan yang hidup dan bernafas lewat konektivitas udara. Dengan lebih dari 17 ribu pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa, pesawat terbang bukan sekadar moda transportasi, melainkan jembatan vital yang menghubungkan keluarga, bisnis, pendidikan, hingga pariwisata. Di dalamnya, bandara menjadi urat nadi—pintu masuk dan keluar yang bukan hanya melayani penumpang, tetapi juga merepresentasikan wajah bangsa.
Namun, jika kita menengok ke awal tahun 2000-an, wajah bandara Indonesia masih jauh dari kata modern. Terminal sempit, fasilitas terbatas, antrean panjang, dan pengalaman penumpang sering kali penuh keluhan. Bandara Soekarno–Hatta yang kala itu sudah menampung puluhan juta penumpang sering dianggap tidak ramah, bahkan kewalahan menghadapi pertumbuhan mobilitas masyarakat. Bandara-bandara di daerah lebih sederhana lagi: banyak yang masih berupa bangunan kecil, tanpa garbarata, dan hanya bisa melayani pesawat baling-baling.
Dua dekade kemudian, wajah itu berubah drastis. Kini, bandara Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai pusat pengalaman, etalase budaya, dan simbol kemajuan. Bandara baru bermunculan di wilayah 3TP, terminal megah dibangun di kota-kota besar, teknologi digital diterapkan, dan prestasi internasional mulai diraih. Di balik transformasi ini, ada motor penggerak baru: InJourney, holding BUMN pariwisata dan aviasi, yang mengorkestrasi revolusi kebandaraan nasional menuju kelas dunia.
Masa Awal dan Perkembangan Jumlah Bandara
Di awal 2000-an, jumlah bandara di Indonesia masih sekitar 170–180 unit, sebagian besar berupa bandara kecil dan perintis. Kondisinya jauh dari ideal: banyak yang hanya memiliki satu landasan pacu pendek tanpa fasilitas navigasi modern. Keterbatasan ini membuat penerbangan domestik sering terhambat cuaca, dan mobilitas masyarakat luar Jawa sangat bergantung pada kapal laut.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah mulai menggencarkan pembangunan bandara baru sebagai bagian dari strategi konektivitas nasional. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan, jumlah bandara meningkat hingga lebih dari 300 unit pada 2025. Lonjakan ini terjadi terutama di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan berlanjut di era Joko Widodo, di mana bandara baru di wilayah terluar dan perbatasan menjadi prioritas.
Bandara Miangas di Sulawesi Utara menjadi simbol kedaulatan di ujung utara Nusantara. Bandara Letung dan Tambelan di Kepulauan Riau membuka akses wisata bahari, sementara Bandara Koroway Batu di Papua menjembatani wilayah pedalaman yang sebelumnya terisolasi. Selain bandara perintis, megaproyek bandara skala besar juga muncul. Yogyakarta International Airport (YIA) yang beroperasi sejak 2019 menggantikan Adisutjipto, dengan kapasitas 20 juta penumpang per tahun. Kertajati International Airport di Majalengka yang diresmikan 2018 dirancang sebagai hub baru Jawa Barat. Kehadiran bandara-bandara ini menandai babak baru: Indonesia tidak lagi hanya membangun bandara sederhana, tetapi megaproyek dengan standar global.
Masa Awal & Perkembangan
Bandara di Indonesia
Di awal 2000-an, Indonesia
baru memiliki sekitar
170-180
bandara
sebagian besar berupa bandara kecil perintis tanpa fasilitas modern


Mobilitas masyarakat luar Jawa masih sangat bergantung pada kapal laut
Bandara baru di wilayah terluar dan perbatasan menjadi prioritas:




- Letung & TambelanKepulauan Riau
- MiangasSulawesi Utara
- Koroway BatuPapua
megaproyek bandara skala besar juga muncul:
Yogyakarta International Airport (YIA)
(2019) kapasitas 20 juta penumpang /tahun
Kertajati International Airport
(2018) hub baru Jawa Barat
Modernisasi Infrastruktur: Dari Terminal ke Ekosistem
Lonjakan jumlah bandara diimbangi dengan modernisasi infrastruktur. Jika dulu terminal hanya berfungsi untuk check-in dan ruang tunggu sederhana, kini bandara Indonesia bertransformasi menjadi ekosistem kompleks.
Bandara Soekarno–Hatta memperluas kapasitasnya dengan menambah runway ketiga dan membuka Terminal 3 Ultimate pada 2016. Terminal baru ini dirancang menampung hingga 25 juta penumpang per tahun, dilengkapi sistem bagasi otomatis dan fasilitas modern. Ngurah Rai di Bali meresmikan terminal internasional baru menjelang KTT APEC 2013, dengan desain yang memadukan modernitas dan arsitektur tradisional Bali. Bandara Juanda di Surabaya, Hasanuddin di Makassar, Kualanamu di Medan, dan Sepinggan di Balikpapan juga diperluas kapasitasnya, dengan terminal modern, sistem navigasi terbaru, dan area komersial luas.
Selain itu, bandara baru kini dirancang dengan konsep ramah lingkungan dan tematik. YIA dibangun dengan sistem drainase bawah tanah untuk mencegah banjir dan struktur tahan gempa. Terminal 4 Soekarno–Hatta sempat direncanakan, namun pada 2025 resmi dibatalkan. Pemerintah menilai kapasitas bandara tetap bisa ditingkatkan dengan cara lebih efisien—yakni dengan memaksimalkan Terminal 1, 2, dan 3 yang sudah ada. Keputusan ini menghemat belanja negara hingga Rp13 triliun dan menunjukkan orientasi baru pembangunan: bukan hanya menambah bangunan, tetapi mengoptimalkan yang ada.
Bandara juga bukan lagi sekadar ruang transit, melainkan pusat aktivitas. Hadir hotel kapsul, co-working space, galeri UMKM, hingga area budaya. Konsep ini menjadikan bandara bukan hanya pintu masuk, tetapi juga destinasi tersendiri.
InJourney dan Revolusi Pengalaman Penumpang
Tahun 2021 menjadi titik balik dengan lahirnya InJourney, holding yang menggabungkan operator bandara Angkasa Pura I & II, ITDC, dan entitas pariwisata lainnya. Visi besarnya adalah mengintegrasikan transportasi udara dengan pariwisata, serta meningkatkan pengalaman penumpang dari awal hingga akhir perjalanan.
Digitalisasi menjadi ujung tombak transformasi. Biometrik eGate di Soekarno–Hatta dan Ngurah Rai memangkas waktu imigrasi dari lima menit menjadi hanya 20 detik. Airport Operation Control Center (AOCC) memungkinkan pengawasan operasional real-time, sementara aplikasi Travelin menyediakan layanan end-to-end: check-in, informasi penerbangan, loyalty program, hingga belanja digital.
Dari sisi hospitality, InJourney memperkenalkan berbagai layanan yang lebih terintegrasi. Lounge modern dipadukan dengan produk lokal, dari kopi Nusantara hingga batik, sehingga penumpang tidak hanya menunggu, tetapi juga merasakan atmosfer budaya Indonesia. Terminal kini juga dipenuhi etalase UMKM, memberi ruang bagi pelaku lokal untuk menembus pasar global.
Integrasi transportasi juga menjadi fokus. Skytrain antar terminal di Soekarno–Hatta, kereta bandara yang menghubungkan pusat kota, serta akses tol langsung seperti di Juanda adalah langkah nyata menuju seamless travel experience.
Bandara Indonesia di Mata Dunia
Transformasi ini mulai diakui dunia. Soekarno–Hatta naik peringkat di Skytrax World Airport Awards, dari posisi 43 pada 2023, menjadi 28 pada 2024, dan mencapai posisi 25 dunia pada 2025. Bandara ini juga resmi menyabet sertifikasi 4-Star Airport, sejajar dengan bandara kelas dunia seperti Changi di Singapura dan Incheon di Korea Selatan.
Meski begitu, pekerjaan rumah masih panjang. Target berikutnya adalah meraih predikat 5-Star Airport Rating pada 2026. Bukan sekadar gelar prestisius, target ini mencerminkan kebutuhan untuk terus menyempurnakan pelayanan—mulai dari alur imigrasi yang lebih efisien, tata ruang terminal yang ramah penumpang, hingga kualitas interaksi staf yang konsisten. Ambisi ini menegaskan bahwa Soekarno–Hatta ingin benar-benar berdiri sejajar dengan hub global seperti Changi, Hamad, dan Incheon.
Bandara Indonesia di Mata Dunia
Transformasi bandara Indonesia makin diakui global. Soekarno-Hatta naik peringkat di Skytrax World Airports Awards:






Kini Soekarno-Hatta berstatus 4-Star Airport, sejajar dengan Changi & Incheon


Kini Soekarno-Hatta berstatus 4-Star Airport, sejajar dengan Changi & Incheon
Target berikutnya:

5-Star
Airport 2026
Soekarno-Hatta berambisi berdiri sejajar dengan hub global seperti Changi, Hamad, dan Icheon
Pertumbuhan Penumpang dan Dampak Ekonomi
Jumlah penumpang terus mencatat lonjakan signifikan. Pada 2000, total penumpang udara Indonesia hanya sekitar delapan juta orang. Tahun 2014, angkanya melonjak menjadi 94,5 juta, dan pada 2019 tembus 110 juta penumpang. Pandemi COVID-19 sempat menjatuhkan angka ke 36 juta pada 2020, tetapi pemulihan cepat terjadi, dengan 77 juta penumpang tercatat pada 2023.
Pertumbuhan ini menjadikan Indonesia salah satu pasar penerbangan tercepat di dunia. IATA memproyeksikan Indonesia akan mencapai 270 juta penumpang per tahun pada 2034, menempatkannya di posisi keenam terbesar global.
Dampak ekonominya masif. Pariwisata menjadi penerima manfaat terbesar, dengan 80 persen turis asing masuk melalui Bali dan Jakarta. UMKM juga ikut terdorong melalui kios-kios lokal di terminal. Lebih jauh lagi, bandara mempercepat distribusi barang dan logistik. Di Papua, harga semen bisa turun karena pasokan udara lebih cepat. Di Maluku, akses medis lebih mudah karena pesawat bisa menjangkau wilayah yang sebelumnya harus ditempuh berhari-hari lewat laut. Bandara bukan hanya sarana transportasi, tetapi pengerak pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan Penumpang & Dampak Ekonomi
Jumlah penumpang udara melonjak drastis dalam dua dekade terakhir

Juta
Juta
(Pandemi)
77 Juta
Proyeksi IATA:
270 Juta
penumpang /tahun pada 2034
posisi
6 dunia
Dampak ekonomi:

Pariwisata Tumbuh
80%
turis asing via Bali & Jakarta

UMKM lokal hidup lewat kios di terminal

Logistik lebih cepat:
Harga semen Papua turun, akses medis Maluku lebih mudah
Paradoks Bandara Internasional
Namun, ada paradoks yang muncul di balik ekspansi bandara internasional. Data terbaru menunjukkan bahwa pada 2025 Indonesia kini memiliki 40 bandara berstatus internasional. Angka ini muncul setelah Kementerian Perhubungan menetapkan kembali status internasional bagi 36 bandara umum, tiga bandara khusus, dan satu bandara daerah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 37/2025 dan KM 38/2025. Padahal, hanya setahun sebelumnya, pemerintah justru mencabut status internasional dari 17 bandara karena dinilai tidak efisien.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa, menegaskan bahwa penetapan status internasional bukan sekadar simbol, melainkan tanggung jawab besar untuk memenuhi standar ICAO, termasuk kesiapan fasilitas imigrasi, bea cukai, dan karantina. Langkah ini diharapkan memperkuat konektivitas udara, mempermudah arus perdagangan, dan mendukung pariwisata.
Meski demikian, jumlah bandara internasional yang bertambah tidak serta-merta membuat arus wisatawan mancanegara melonjak signifikan. Justru, tren menunjukkan semakin banyak masyarakat Indonesia yang bepergian ke luar negeri. Tahun 2023, jumlah warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan internasional mencapai lebih dari sepuluh juta orang, hampir menyaingi jumlah wisatawan asing yang masuk. Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Korea menjadi destinasi favorit berkat tiket promo yang melimpah dan pengalaman wisata yang lebih kompetitif.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah bandara internasional kita betul-betul efektif sebagai pintu masuk wisatawan asing, atau malah lebih berfungsi sebagai pintu keluar warga yang gemar berbelanja dan berwisata di luar negeri?
Daya Beli dan Harga Tiket Pesawat
Isu lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan masyarakat membeli tiket pesawat. Infrastruktur bandara semakin modern, tetapi harga tiket domestik tetap relatif mahal bagi sebagian kalangan. Tidak jarang, harga tiket Jakarta–Surabaya bisa menyaingi tiket Jakarta–Singapura.
Tingginya biaya avtur, jumlah maskapai yang terbatas, dan minimnya persaingan membuat harga tiket sulit ditekan. Akibatnya, meskipun bandara semakin megah, tidak semua masyarakat bisa menikmatinya secara rutin. Banyak warga tetap mengandalkan bus, kereta api, atau mobil pribadi untuk bepergian antar kota, terutama kelompok menengah bawah yang merasa ongkos pesawat terlalu memberatkan.
Kondisi ini memunculkan paradoks lain: bandara berkelas dunia memang berdiri megah, tetapi tidak semua orang merasa itu dibangun untuk mereka. Ironisnya, bagi sebagian masyarakat, bepergian ke luar negeri justru lebih mudah karena tiket promo internasional lebih terjangkau dibandingkan penerbangan domestik.
Daya Beli & Harga Tiket Pesawat
Infrastruktur bandara semakin modern, tetapi harga tiket domestik tetap relatif mahal bagi sebagian kalangan

Jakarta-Surabaya kadang setara tiket Jakarta-Singapura
Penyebab:
harga avtur tinggi, maskapai terbatas, persaingan minim
Banyak warga menengah bawah tetap pilih bus, kereta, atau mobil pribadi

Ironisnya, tiket promo internasional justru sering lebih murah dibandingkan rute domestik
Bandara berkelas dunia memang hadir, tapi belum sepenuhnya inklusif bagi semua kalangan
Tantangan, dan Pembelajaran
Meski banyak capaian, tantangan tetap mengintai. Ketimpangan infrastruktur masih terasa. Bandara di Jawa sudah sangat modern, tetapi banyak bandara di Maluku dan Papua masih minim fasilitas. Kapasitas Soekarno–Hatta juga menghadapi tekanan berat. Tanpa Terminal 4, strategi efisiensi memang lebih hemat, tetapi tetap menuntut manajemen yang cermat agar Terminal 1, 2, dan 3 bisa dimaksimalkan secara optimal.
Isu pembiayaan menjadi catatan penting. Beberapa proyek bandara mengalami pembengkakan biaya. Kertajati misalnya, sempat sepi penumpang karena kurangnya integrasi dengan transportasi pendukung. Di sisi lain, tiket pesawat domestik masih dianggap mahal oleh sebagian masyarakat, membatasi akses bagi kelompok menengah bawah.
Dari sisi lingkungan, kebutuhan akan green airport semakin mendesak. Penggunaan energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi harus lebih serius diterapkan agar bandara Indonesia tidak hanya modern, tetapi juga berkelanjutan.
Masa Depan Kebandaraan Indonesia
Arah masa depan kebandaraan Indonesia semakin jelas. Konsep green airport sudah mulai diterapkan, dengan penggunaan panel surya, efisiensi energi, dan sistem pengolahan limbah di beberapa bandara baru. Smart airport berbasis AI dan IoT sedang dikembangkan untuk prediksi antrian, sistem keamanan cerdas, hingga layanan personal berbasis data.
Posisi strategis Indonesia juga membuka peluang besar. Dengan letak geografis di tengah jalur penerbangan internasional, bandara seperti Soekarno–Hatta atau Bali berpotensi menjadi hub regional Asia Tenggara, bersaing dengan Changi dan KLIA. Dengan proyeksi IATA yang menempatkan Indonesia sebagai pasar penumpang terbesar keenam di dunia pada 2034, kapasitas bandara harus segera ditingkatkan.
Visi jangka panjangnya adalah menjadikan bandara Indonesia bukan hanya memadai, tetapi juga ikon kelas dunia. Bandara diharapkan bisa menghadirkan kebanggaan nasional sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan integrasi bangsa.