Menjaga
Warisan Budaya
Takbenda,
Melestarikan Kekayaan
Indonesia
Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya. Pernyataan tersebut kerap terdengar, sekaligus jamak diketahui. Sebagaimana kekayaan pada umumnya, budaya bisa diwariskan, dan bisa juga hilang. Untuk itulah, upaya untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya harus dilakukan setiap bangsa, tak terkecuali Indonesia.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal aneka pengetahuan, keterampilan, praktik sosial, hingga cara mengekspresikan sesuatu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Itulah contoh dari apa yang disebut dengan Warisan Budaya Takbenda atau intangible cultural heritage yang dapat diartikan sebagai peninggalan yang tak dapat dipegang secara fisik, akan tetapi diketahui keberadaannya.
Sebagai kekayaan yang dimiliki negeri ini, sudah tentu warisan budaya takbenda perlu dilestarikan. Pemerintah khususnya melalui Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan RI bersama seluruh lapisan masyarakat, perlu bergotong royong menjaga agar warisan budaya takbenda tetap terpelihara dan tidak tergerus oleh perubahan zaman.
Mengenal Warisan Budaya Takbenda, Kekayaan Indonesia Lintas Generasi
Objek Pemajuan
Kebudayaan (OPK)
OPK Terdiri Dari:
Tradisi Lisan
Manuskrip
Adat istiadat
Ritus
Pengetahuan tradisional
Teknologi tradisional
Seni
Bahasa
Permainan rakyat
Olahraga tradisional
Sebelum melihat apa saja Warisan Budaya Takbenda alias WBTbI yang ada di Indonesia, Kawan harus memahami bahwa sebelum berstatus Warisan Budaya Takbenda Indonesia, seluruh unsur-unsur kebudayaan di Indonesia yang menjadi sasaran utama upaya pemajuan kebudayaan disebut “Objek Pemajuan Kebudayaan” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia, dijelaskan bahwa WBTbI sendiri adalah "Berbagai hasil praktek, perwujudan, ekspresi pengetahuan dan keterampilan, yang terkait dengan lingkup budaya, yang diwariskan dari generasi ke generasi secara terus menerus melalui pelestarian dan/atau penciptaan kembali serta merupakan hasil kebudayaan yang berwujud budaya takbenda setelah melalui proses penetapan Budaya Takbenda."
Domain atau ranah WBTbI pun beragam, mulai dari tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial, ritus dan perayaan, pengetahuan serta kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, hingga kemahiran dan kerajinan tradisional. Domain ini memiliki keselarasan dengan OPK tertentu, misalnya, domain seni pertunjukan selaras dengan OPK seni, domain praktik sosial dan ritual selaras dengan OPK adat istiadat dan ritus, sedangkan domain pengetahuan tradisional dan kemahiran kerajinan tradisional selaras dengan OPK pengetahuan tradisional serta teknologi tradisional.
Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI), Apa Itu?
Berbagai hasil praktik, perwujudan, ekspresi pengetahuan dan keterampilan, yang terkait dengan lingkup budaya, yang diwariskan dari generasi ke generasi secara terus menerus melalui pelestarian dan/atau penciptaan kembali serta merupakan hasil kebudayaan yang berwujud budaya takbenda setelah melalui proses penetapan Budaya Takbenda (Permendikbud) Nomor 106 Tahun 2013
Domain
Tradisi lisan dan ekspresinya, termasuk bahasa sebagai wahana Warisan Budaya Takbenda- Seni Pertunjukan
- Praktik sosial, ritual, dan perayaan - perayaanPengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta;
- Kemahiran kerajinan
tradisional.

Untuk ditetapkan sebagai WBTbI, suatu OPK harus memenuhi syarat
dan mengikuti prosedur penetapan









OPK Jadi WBTbI,
Bagaimana Caranya?
Masyarakat, komunitas atau pemerintah daerah mengajukan usulan kepada dinas yang membidangi kebudayaan di tingkat kabupaten/kota
Data usulan dimasukkan ke dalam sistem Dapobud (Data Objek Pemajuan Kebudayaan)
Tim Pendataan Dapobud melakukan verifikasi dan validasi mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi
Dinas Provinsi mengajukan usulan Penetapan Warisan Budaya Takbenda
Seleksi administrasi, penilaian substansi, dan verifikasi berjenjang oleh Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia
Usulan Warisan Budaya Takbenda dibawa ke sidang penetapan WBTbI, sebelum nantinya ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Menteri Kebudayaan RI


OPK Harus Memenuhi Syarat-syarat Ini
agar Bisa Ditetapkan Menjadi WBTbI:
Berusia 50 tahun atau lebih,
Memiliki maestro,
Telah diwariskan paling sedikit dua generasi,
Memiliki nilai penting bagi masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi, dan/atau budaya,
Berdampak pada pembangunan berkelanjutan,
Masih lestari dan dipraktikkan di masyarakat, serta
Tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Proses persidangan agar OPK bisa disahkan menjadi WBTbI bisa berlangsung lebih dari tiga kali. Direktur Warisan Budaya, Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, I Made Dharma Suteja, menjelaskan bahwa proses panjang dalam penetapan WBTbI ini bertujuan agar warisan budaya yang ditetapkan nantinya sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Dalam persidangan, tim ahli akan mencermati setiap OPK yang diusulkan, mulai dari dokumentasi hingga kajian akademisnya. Bukan tidak mungkin pula, usulan yang sudah diajukan nantinya tidak diloloskan untuk ditetapkan menjadi WBTbI. Keputusan ini bisa diambil karena berbagai faktor, seperti kelengkapan persyaratan, perbaikan yang dianggap kurang oleh tim ahli, dan lainnya.
Potret WBTbI Kini: Semakin Banyak, DI Yogyakarta Penyumbang Utamanya!
Kementerian Kebudayaan RI terus melakukan pencatatan serta penetapan daftar WBTbI. Terbaru, lembaga eksekutif tersebut menggelar sidang penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2025 di Jakarta, Jumat (10/10/2025). Sidang tersebut menghasilkan keputusan berupa rekomendasi ditetapkannya 514 Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) untuk tahun ini.
Sidang penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia merupakan agenda tahunan Kementerian Kebudayaan RI sebagai wujud upaya pelindungan Warisan Budaya Takbenda. Sidang tahun ini mencatatkan pengesahan WBTbI terbanyak dibandingkan tahun sebelumya. Sejak 2013, WBTbI yang disahkan setiap tahunnya tidak pernah lebih dari 289.
“Capaian ini memperlihatkan kekuatan kolaborasi dalam semangat menjaga kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan, Wawan Yogaswara.
Setelah sidang penetapan tahun 2025 ini, terdapat 2.727 WBTbI yang tercatat di Kementerian Kebudayaan RI. Menariknya, jumlah WBTbI dari setiap provinsi tidaklah sama. Ada provinsi yang begitu menonjol dengan banyaknya WBTbI asal daerah tersebut yang tercatat, ada pula yang sebaliknya.
Berdasarkan data terkini, provinsi dengan WBTbI terbanyak berada di Jawa dan Bali. Adapun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah penyumbang WBTbI terbanyak di Indonesia. Pada tahun ini saja, DIY yang awalnya sudah memiliki 208 WBTbI menambah jumlahnya hingga 33. Selain DIY, ada pula provinsi lain yang banyak menyumbang WBTbI. Misalnya Jawa Barat yang memiliki 140 WBTbI dan tahun ini bertambah 42, Jawa Tengah yang dengan 158 WBTbI dan bertambah 57, juga Jawa Timur dengan 112 WBTbI dan bertambah 46. Di luar Jawa, hanya Bali yang sumbangan WBTbI-nya mendekati provinsi-provinsi yang disebut sebelumnya, yakni 134 dengan tambahan 24 tahun ini.
Lantas, apa alasan jumlah WBTbI di satu provinsi dengan provinsi lainnya bisa berbeda? salah satunya adalah ketidaklengkapan dokumen pengusulan, yang menjadi hambatan dalam proses verifikasi dan penetapan secara nasional.


Made menyebut bahwa kesadaran masing-masing daerah untuk mengusulkan warisan budaya takbenda sebenarnya sangat tinggi. Namun, banyak di antaranya yang masih terkendala sumber daya manusia (SDM) yang belum merata. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Kebudayaan RI sendiri tidak tinggal diam di tengah kendala yang dihadapi pemerintah daerah terkait pengajuan WBTbI. Made mengungkap, pihaknya telah melaksanakan program pendampingan untuk pemerintah daerah.
WBTbI di Mata Dunia
Warisan Budaya Takbenda Indonesia dapat diusulkan masuk dalam daftar Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO, loh!
Ya, status ICH UNESCO diberikan oleh organisasi naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang berkutat di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya itu kepada warisan budaya takbenda dari berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejumlah WBTbI sudah mendapat status tersebut.
Lantas, apa pentingnya pengakuan UNESCO terhadap WBTbI? Pertanyaan itu mungkin bergelayut di benak pembaca. Begitu pula dengan cara agar suatu WBTbI bisa diakui sebagai ICH UNESCO.
Sebelumnya, Kawan perlu tahu bahwa kesadaran tentang pentingnya warisan budaya takbenda mulai muncul pada tahun 1973, ketika Bolivia pertama kali mengusulkan pelindungan tradisi hidup (living tradition) dalam forum UNESCO. Saat itu, instrumen internasional yang ada hanya berfokus pada warisan budaya berwujud seperti monumen dan situs.
Warisan Budaya Takbenda Indonesia Mendunia!
ada sejumlah WBTbI yang telah diinskripsi sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO)
WBTbI yang sudah diinkripsi UNESCO
Keris (2008)
Wayang (2008)
Batik (2009)
Pendidikan dan Pelatihan Batik (2009)
Angklung (2010)
Tari Saman (2011)
Noken (2012)
Tiga Genre Tarian Tradisional Bali (2015)
Pinisi (2017)
Pencak Silat (2019)
Pantun (2020)
Gamelan (2021)
Jamu (2023)
Reog Ponorogo (2024)
Kebaya (2024)
Kolintang (2024)




Mengapa pengakuan internasional atas WBTbI penting?
(soft power diplomacy)




Melestarikan Warisan Budaya Takbenda: Antara Tantangan dan Peluang
Sebagai wakil pemerintah yang berkecimpung di bidang kebudayaan, sudah tentu Kementerian Kebudayaan RI melalui Direktorat Warisan Budaya aktif dalam memajukan kebudayaan. Dalam hal menjaga dan melestarikan warisan budaya takbenda, tugas Kementerian Kebudayaan RI pun jelas lebih dari sekadar mencatat dan menetapkan WBTbI lewat sidang seperti yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.
“Tentu saja, penetapan bukan semata-mata urusan administratif. Penetapan 514 WBTbI merupakan pengakuan negara terhadap identitas budaya yang hidup di tengah masyarakat. Dari sinilah kebijakan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan memperoleh pijakan yang kuat,” kata Wawan.
Dijelaskan Wawan, setidaknya ada empat langkah yang dilakukan Kementerian Kebudayaan RI. Pertama adalah pelindungan di mana setiap tradisi harus tercatat, terdokumentasi, dan memiliki payung hukum yang kuat. Kedua, adalah pengembangan lewat riset, inovasi, dan ruang bagi generasi muda untuk berkreasi tanpa meninggalkan nilai budaya. Ketiga, pemanfaatan yang menempatkan kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi kreatif dan pariwisata berkelanjutan yang manfaatnya harus kembali kepada masyarakat. Kemudian yang keempat adalah pembinaan yang berarti penguatan kapasitas komunitas yang dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan pewarisan pengetahuan lintas generasi.
Dalam pelaksanaannya, langkah yang ditempuh Kementerian Kebudayaan RI kerap menemui tantangan. Wawan sendiri mengakui bahwa tantangan tersebut beragam bentuknya, mulai dari perubahan iklim yang mengubah pola alam tempat tradisi lahir, urbanisasi yang menggerus ruang hidup budaya, hingga ancaman atas hak kekayaan intelektual komunal. Kendati demikian, Kementerian Kebudayaan RI juga senantiasa mencari jalan keluar untuk mengatasi segala tantangan yang ada.
“Pemerintah berkomitmen untuk memperkuat anggaran, memperluas kerja sama lintas sektor, dan memastikan partisipasi masyarakat dalam pelestarian budaya. Pemerintah daerah diharapkan terus memperbarui data Warisan Budaya Takbenda dengan melibatkan komunitas sebagai pelaku utama,” kata Wawan.
Melestarikan WBTbI
Tak Mudah,
tapi Ada Jalan!
Upaya melestarikan WBTbI dihadapkan tantangan. Kendati demikian, ada pula strategi yang ditempuh pemerintah untuk mengatasinya




Tantangan

Terbatasnya dokumentasi yang komprehensif

Menurunnya minat generasi muda

Komodifikasi budaya yang tidak terkontrol

Keterbatasan sumber daya

Perubahan iklim yang mengubah pola alam tempat lahirnya tradisi

Urbanisasi

Klaim sepihak atas hak kekayaan intelektual komunal
Strategi Pemerintah


Memperkuat basis data nasional WBTbI secara digital

Regenerasi berbasis komunitas dan pendidikan budaya

Sinergi dengan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif

Menempatkan komunitas sebagai aktor utama

Memperluas pengakuan internasional bagi WBTbI
Kolaborasi Pemerintah-Masyarakat, Kunci Pelestarian WBTbI
Pada akhirnya, pelestarian WBTbI akan lebih kuat jika menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari, bukan hanya seremoni. Untuk itulah, diperlukan kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan, memberikan fasilitas, serta memastikan pelindungan secara hukum dan administratif. Di sisi lain, perlu diingat bahwa sejatinya warisan budaya itu sendiri lahir, tumbuh, dan hidup di tengah masyarakat.
Pelestarian Warisan Budaya Takbenda adalah tanggungjawab bersama!

Negara bertugas merumuskan kebijakan, memberikan fasilitas, serta memastikan perlindungan secara hukum dan administratif.
Di sisi lain, warisan budaya itu lahir, tumbuh, dan hidup di tengah masyarakat.



I Made Dharma Suteja
Direktur Warisan Budaya, Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan
“Kebudayaan hadir sejak kita membuka mata di pagi hari hingga kita tidur di malam hari. Kalau masyarakat sadar itu, pelestarian tidak lagi terasa berat,” tutur Made.
Satu hal yang tak kalah penting, dengan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, pelestarian warisan budaya sudah seharusnya dimulai dari rumah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendukung pelestarian warisan budaya seperti terus mempraktikkan tradisi dan ritual adat, membeli produk budaya lokal, hingga menyebarkan informasi positif tentang tradisi di media sosial. Meski tampak kecil, semua itu akan berdampak besar apabila dilakukan secara konsisten. Bali adalah contoh nyatanya.
“Di Bali, orang tidak perlu disuruh melestarikan, karena budaya itu dipakai setiap hari,” imbuh Made.
Oleh karena pelestarian budaya perlu dimulai dari rumah, keluarga juga harus berperan aktif dalam pengenalan WBTbI, khususnya kepada generasi muda. Sebab, keluarga sejatinya merupakan pendidikan pertama bagi anak. Setelahnya, pengenalan WBTbI dapat turut dilakukan di sekolah dan lingkungan.








