Table of Content
Logo GNFI

PP Tunas, Upaya Melindungi Anak-anak Indonesia di Dunia Digital

Pemerintah Indonesia kini mengatur penggunaan media sosial bagi anak dan remaja. Payung hukumnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak alias PP Tunas.

PP Tunas diluncurkan pada Jumat (28/3/2025) lewat seremoni di Istana Negara, Jakarta, yang dihadiri siswa-siswi sekolah dasar dan menengah, pendidik, pegiat perlindungan anak, hingga para pejabat negara. Suasana ramai terasa dalam menyambut peraturan yang diklaim sebagai upaya memberikan rasa aman bagi anak Indonesia berkiprah di ruang digital itu.

“Negara hadir untuk menjamin setiap anak Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan sehat. Hari ini, kebijakan Tunas menjadi wujud komitmen kita dalam melindungi anak-anak dari berbagai ancaman dan risiko digital, sekaligus memastikan mereka mendapat manfaat terbaik dari perkembangan teknologi,” ujar Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.

Pada dasarnya, PP Tunas yang berlaku sejak 1 April 2025 mengatur kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi penyelenggara platform digital guna menjamin perlindungan anak-anak yang menggunakannya. Dalam perumusannya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menyebut bahwa berbagai kalangan turut dilibatkan, mulai dari penyelenggara sistem elektronik (PSE), orang tua, guru, siswa, hingga pakar dan pelaku bisnis digital. Lewat konsultasi publik sejak awal tahun, 287 masukan dan tanggapan dari 24 pemangku kepentingan telah dijaring.

“Tunas adalah bentuk keberpihakan negara terhadap anak-anak. Kami ingin ruang digital menjadi ruang yang aman, sehat, dan mendukung tumbuh kembang anak Indonesia. Ini bukan sekadar kebijakan, tetapi ikhtiar kolektif kita semua sebagai bangsa,” ujar Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid.

Meutya juga menegaskan bahwa PP ini bukan untuk membatasi akses anak terhadap teknologi, melainkan membimbing mereka menggunakan internet secara aman dan bertanggung jawab. Ia mengibaratkannya seperti belajar naik sepeda dengan roda bantu terlebih dahulu. 

Perihal keamanan anak dan remaja di ruang digital sebetulnya bukan isu baru, terutama dengan masifnya penggunaan internet dewasa ini. Sementara PP Tunas hanyalah salah satu ikhtiar pemerintah untuk menjaga generasi masa depan, partisipasi aktif masyarakat juga diperlukan.

Mengenal PP Tunas: Mengapa dan Untuk Apa Dibuat?

PP Tunas berangkat dari maraknya kejahatan di ruang digital, mulai dari dari paparan konten berbahaya, eksploitasi, hingga perundungan daring. Kemkomdigi kemudian berinisiatif untuk merancang peraturan yang bisa membentengi anak muda dan remaja dari kejahatan tersebut dan disambut positif oleh presiden yang disusul dengan kajian untuk merumuskan sederet aturan yang perlu diberlakukan.

Tujuan utama PP Tunas:

-Melindungi anak dari konten negatif seperti kekerasan, pornografi, dan radikalisme

-Memastikan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) mematuhi standar keamanan digital untuk anak

-Mendorong literasi digital bagi anak, orang tua, dan pendidik.

-Memperkuat kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam menciptakan ruang digital yang bertanggung jawab.  

Poin-Poin utama dalam PP Tunas

-Klasifikasi Usia dan Pembatasan Akses Konten  

-PP Tunas mengatur pembatasan akses konten digital berdasarkan usia: 

-Anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform berisiko rendah dengan persetujuan orang tua.

-Usia 13–15 tahun dapat mengakses platform risiko rendah hingga sedang, tetap dengan pengawasan.

-Usia 16–18 tahun diperbolehkan mengakses konten berisiko tinggi, tetapi masih memerlukan izin.

-Akses penuh baru diberikan setelah usia 18 tahun. 

PP Tunas
Apa itu?
Jumat, 28 Maret 2025
Pemerintah meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas)
Prabowo
Bertujuan melindungi anak-anak dari ancaman
dan risiko bahaya di ruang digital
Hal-hal utama dalam PP Tunas:
  • Klasifikasi tingkat risiko platform digital
  • Pembatasan akses terhadap konten dan platform digital berdasarkan usia
  • Kewajiban platform digital untuk memverifikasi pengguna dan mengedukasi anak serta orang tua untuk berinternet secara aman
  • Pelibatan orang tua dalam memberi persetujuan terhadap penggunaan platform digital oleh anak
  • Larangan profiling anak untuk tujuan komersial
  • Sanksi bagi platform digital yang melanggar, mulai dari teguran hingga denda
3d Childs
Footer

Untuk menentukan platform mana yang berisiko rendah, sedang, dan tinggi, ada  delapan aspek penilaian yang menentukannya. Beberapa di antaranya adalah potensi paparan konten tidak layak, risiko keamanan data pribadi anak, risiko adiksi, juga potensi dampak negatif pada kesehatan mental dan fisik anak.

Sementara itu, klasifikasi usia dalam tiga kategori yang sudah ditentukan mengacu pada standar Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Orang tua tinggal mengikuti klasifikasi tersebut untuk mengawal anak agar menggunakan internet secara bijak dan aman. 

Dalam PP Tunas, PSE punya sederet kewajiban. Setiap platform digital, termasuk media sosial, game online, dan layanan keuangan digital, wajib  memverifikasi usia pengguna untuk mencegah akses tidak sesuai, menyaring konten berbahaya dan menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah, melakukan edukasi literasi digital secara berkala kepada pengguna, terutama anak dan orang tua, serta menghindari profiling anak untuk tujuan komersial guna mencegah eksploitasi data.  

Sanksi menanti PSE yang melanggar, mulai dari peringatan administratif hingga pemblokiran akses di Indonesia. Hal ini untuk memastikan kepatuhan dan tanggung jawab platform dalam melindungi penggunanya yang masih belia.  

Setiap sanksi yang diberikan dapat diumumkan kepada publik. Adapun sanksinya beragam. Platform akan diberi teguran tertulis, lalu berlanjut dengan denda administratif teguran tertulis tidak direspons sebanyak dua kali. Selain itu, denda juga dapat dikenakan jika pelanggaran yang dilakukan tergolong berat dan/atau platform tidak kooperatif dengan pihak berwenang.

Jika ada platform yang dijatuhi sanksi administratif, menteri dapat memerintahkan platform tersebut untuk melaksanakan kewajiban perlindungan anak. Adapun besaran denda administratif ditentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“PP ini bukan memberi sanksi kepada orang tua ataupun anak, melainkan sanksi kepada para platform,” tegas Meutya.

Setiap penyelenggara sistem elektronik diberi waktu selama dua tahun untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan dalam PP Tunas. Nantinya, akan ada lembaga independen yang dibentuk melalui Peraturan Presiden untuk mengawal pelaksanaan PP Tunas.

Seberapa Berbahaya Ruang Digital untuk Anak-anak?

Perkembangan teknologi saat ini bisa menjadi pisau bermata dua bagi masyarakat. Jika tidak bisa digunakan dengan bijak, aneka platform digital yang merupakan salah satu wujud teknologi terkini ini justru bisa berdampak buruk.

Anak-anak menjadi salah satu golongan yang rentan terkena dampak negatif dari ruang digital. Lantas jika PP Tunas dibuat untuk melindungi generasi muda Indonesia dari kejahatan, sebenarnya seberapa berbahaya ruang digital kita?

Child with Phone
Beragam Bahaya Mengintai Anak di Ruang Digital
Anak-anak harus dilindungi di ruang digital. Sebab, ada banyak bahaya yang mengintai
Pornografi anak
Lebih dari 5,5 juta kasus di Indonesia dalam 4 tahun terakhir
(data NCMEC)
Perundungan daring
anak-anak di Indonesia pernah mengalami
(data NCMEC)
Judi online
anak usia di bawah 10 tahun terpapar judi online
(data NCMEC)

Untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, terdapat hasil kajian dari sejumlah lembaga yang bisa dicermati. Misal riset dari Data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) yang menunjukkan banyaknya kasus pornografi dengan anak-anak sebagai korbannya.

Dari riset NCMEC, diketahui terdapat lebih dari 5,5 juta kasus pornografi anak yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara ke-4 terbanyak di dunia dan ke-2 di kawasan Asia Tenggara yang mengalami kasus ini. 

Pemerintah sebetulnya sudah menaruh perhatian kepada persoalan pornografi anak ini bahkan sebelum adanya PP Tunas. Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan misalnya pernah berencana membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk menangani masalah tersebut. Beberapa lembaga digandeng, daerah pun tak ketinggalan dilibatkan.

Pada Februari 2025, Komdigi juga mulai menerapkan aplikasi bernama Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN). Fungsinya, untuk mengawasi dan menegakkan kepatuhan terhadap penyelenggara sistem elektronik (PSE) di lingkup privat, utamanya User Generated Content (PSE UGC), guna memastikan isi kontennya layak bagi anak-anak.

Itu baru kasus pornografi. Ada pula beberapa kasus lain yang mengintai generasi muda Indonesia di ruang digital. Misalnya, banyak anak-anak Indonesia yang mengalami perundungan daring. Data UNICEF menunjukkan bahwa 48 persen anak-anak di Indonesia diketahui pernah mengalami perundungan. 

Gawatnya lagi, anak-anak Indonesia juga diketahui sudah mengenal judi online alias judol, fenomena yang belakangan ini jadi perhatian nasional. Ya, bukan hanya orang dewasa dengan mimpi menjadi kaya raya dalam semalam yang bisa mencicipi judol, sedikitnya 80 ribu anak berumur di bawah 10 tahun sudah ikut terpapar.

"Data ini bukan sekadar angka, ini merupakan isu besar yang akan berdampak pada masa depan anak-anak di Indonesia. Kita tidak bisa tinggal diam melihat bagaimana ruang digital merusak anak-anak kita," ungkap Meutya.

Kasus-kasus seperti yang telah disebutkan jelas bukanlah isapan jempol belaka, dan karenanya tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, dampak yang diberikan kepada anak-anak yang menjadi korban sangat besar, mulai dari putus sekolah hingga permasalahan lainnya.

Perlu diketahui juga, anak-anak adalah golongan yang paling banyak "meramaikan" jagat digital. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 mengungkap bahwa 48% pengguna internet di Indonesia adalah anak di bawah 18 tahun, dengan rata-rata waktu penggunaan 8 jam per hari. Sebagian besar anak berusia anak berusia 7–17 tahun juga telah menggunakan internet secara mandiri.

“Anak-anak, khususnya di perkotaan dan anak perempuan, memiliki akses lebih tinggi terhadap penggunaan internet dan telepon seluler. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa 74,85% anak usia 7–17 tahun telah pernah mengakses internet secara mandiri. Meskipun membawa manfaat, tingginya akses ini juga menimbulkan risiko seperti kekerasan seksual online, cyberbullying, konten negatif, hingga eksploitasi komersial anak.” ujar Advocacy & Campaign Director Yayasan Save the Children Indonesia, Tata Sudrajat, dalam acara Social Development Talks bertajuk “Masa Depan Interaksi Online Anak: Perlindungan dan Kebebasan dalam PP Tuntas” pada Jumat (2/5/2025).

Banyaknya anak yang mengakses internet tak lepas dari mudahnya masyarakat mendapatkan gawai. Data Badan Pusat Statistik (BPS)  pada 2024 mengungkap 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon genggam, sementara 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet. Mencengangkannya lagi, anak di bawah usia 1 tahun pun sudah ada yang menggunakan perangkat seluler dengan persentase 5,88 persen.

PP Tunas Bukan Hal Baru, Negara Lain Sudah Duluan

Regulasi serupa PP Tunas bukanlah hal yang baru di kancah global. Sejumlah negara telah lebih dahulu menerapkan regulasi serupa, bahkan dengan pendekatan yang lebih ketat. Ya, dengan PP Tunas, Indonesia menyusul negara-negara lain untuk meregulasi penggunaan platform digital dengan pertimbangan keamanan anak dan remaja.

Dalam proses perumusan PP Tunas, Kemkomdigi sendiri turut berkaca kepada negara lain. Salah satu referensi utama adalah Australia yang telah mengesahkan Online Safety Amendment (Social Media Minimum Age) Act 2024. Dengan regulasi ini, anak-anak berusia di bawah 16 tahun di Negeri Kangguru dilarang mengakses media sosial.

Regulasi yang diterapkan Pemerintah Australia membuat perusahaan seperti Meta dan TikTok mau tidak mau harus memblokir akses anak-anak terhadap berbagai layanannya dan akan dikenai denda hingga AUD 49,5 juta jika melanggar. Pemerintah Australia juga tengah menguji 

berbagai metode verifikasi usia sebelum aturan mulai diberlakukan penuh tahun depan.

Pemerintah Indonesia dan Australia pernah berdiskusi langsung guna membahas PP Tunas. Saat Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, berkunjung ke Istana Merdeka pada Kamis (15/05/2025) lalu, pertemuan digelar dengan melibatkan Menkomdigi dan Presiden untuk memastikan regulasi PP Tunas dapat dilaksanakan dengan baik.

"Jadi tadi kita bicara bagaimana cara implementasi ke depan supaya ini betul-betul bisa dijalankan dengan baik," kata Meutya setelah pertemuan itu.

Aturan Mirip PP Tunas di Negara Lain
Di berbagai negara, penggunaan akun
media sosial anak juga punya batasan usia
Amerika Serikat
Amerika Serikat
Di bawah 13 tahun membutuhkan persetujuan orang tua
Prancis
Prancis
Terlarang bagi usia di bawah 15 tahun (masih rencana)
United Kingdom
United Kingdom
Terlarang bagi usia di bawah 16 tahun (masih rencana)
Jerman
Jerman
Usia 13-16 tahun membutuhkan persetujuan orang tua
Australia
Australia
Terlarang bagi usia di bawah 16 tahun
Italia
Italia
Usia di bawah 14 tahun membutuhkan persetujuan orang tua
Norwegia
Norwegia
Terlarang bagi usia di bawah 16 tahun (masih rencana)
Yunani
Yunani
Usia di bawah 15 tahun harus disertai verifikasi dan kontrol orang tua (masih rencana)
Sumber: tech.co
Parent with children

Tak hanya Australia, beberapa negara Eropa juga memiliki regulasi soal penggunan media sosial dan platform digital untuk anak-anak. Meski tiap negara memiliki pendekatan yang berbeda, tujuannya tetap sama, yaitu melindungi anak-anak dari risiko dunia digital dan memastikan media sosial digunakan secara bijak sesuai usia pengguna.

Usia Ideal Anak untuk Bermedia Sosial, Apakah PP Tunas Sudah Pas?

Apabila dicermati, PP Tunas tampak sangat memperhatikan pembatasan penggunaan platform digital khususnya media sosial berdasarkan usia anak. Ini ternyata klop dengan keinginan para orang tua di Indonesia.

Berdasarkan survei dari YouGov misalnya, 84% orang tua Indonesia yang setidaknya memiliki satu anak di bawah usia 18 tahun mendukung penetapan usia minimum bagi anak mengakses media sosial dalam peraturan. Lebih dari itu, 50% dari mereka bahkan sangat mendukung.

Mayoritas orang tua mendukung adanya usia minimum penggunaan media sosial karena khawatir anak-anak terpapar oleh konten-konten beredar yang tidak sesuai dengan usia mereka. Sebab, hampir separuh dari responden (49%) mengatakan bahwa anak-anak mereka sudah aktif di media sosial. 

Para responden meyakini bahwa anak baru layak menggunakan media sosial saat usianya sudah menginjak 15–17 tahun. Ini sedikit berbeda dengan aturan dalam PP Tunas yang memberi akses media sosial kepada anak berusia 13 – 15 tahun asalkan dengan persetujuan orang tua, mirip seperti aturan di negara lain.

Meski tidak sepenuhnya sesuai dengan yang diyakini orang tua, penetapan usia 13 tahun untuk bermedia sosial dalam PP Tunas justru selaras dengan pendapat ahli. Psikolog klinis sekaligus Chief Science Officer American Psychological Association (APA), Dr. Mitch Prinstein, sepakat dengan batasan usia 13 tahun.

Berapa Usia Ideal Anak untuk Mengakses
Media Sosial?
Person 1
"Akses tanpa pengawasan, tanpa screen control atau pantauan orang tua, mungkin harus ditunda selama mungkin, tentunya sampai setidaknya (anak sudah berusia 9 tahun)."
Psikolog klinis & Chief Science Officer American Psychological Association (APA), Dr. Mitch Prinstein, via CNBC Make It
Person 1
"Penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan 10-14 tahun terdampak paling besar oleh algoritma media sosial. Saya akan menunggu hingga berusia 15 atau 16, tetapi itu juga tampak kurang realistis bagi banyak kehidupan orang tua dan sang anak."
Pendiri dan CEO Social Awakening, organisasi yang gencar mengampanyekan penggunaan media sosial secara sehat, Max Stossel
Person 1
"Saya bisa memperkenalkan Anda kepada seorang anak berusia 13 tahun yang sangat dewasa dan seorang anak berusia 17 tahun yang sangat belum dewasa."
Psikolog klinis Child Mind Institute, Jerry Bubrick, PhD.,
Symbol
Pembatasan usia minimal kini sudah lazim dilakukan. Namun perlu diketahui, usia tidak selalu mutlak mencerminkan kedewasaan.
Child with Laptop

"Akses tanpa pengawasan, tanpa screen control atau pantauan orang tua, mungkin harus ditunda selama mungkin, tentunya sampai setidaknya (anak sudah berusia) tahun)." ujar Prinstein seperti diwartakan CNBC Make It.

Sementara Prinstein menyatakan pengawasan orang tua dibutuhkan hingga anak berusia 16 tahun, PP Tunas masih memberlakukan persetujuan orang tua bagi anak berusia 16 – 18 tahun. Sebab, menurut beberapa peraturan di Indonesia, seseorang baru dikatakan dewasa setelah berusia 18 tahun. 

Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. Begitupun dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menentukan definisi anak sebagai seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pendiri dan CEO Social Awakening, organisasi yang gencar mengampanyekan penggunaan media sosial secara sehat, Max Stossel, mengingatkan bahwa algoritma media sosial didesain bukan untuk memberi manfaat bagi anak, melainkan mendatangkan pundi-pundi uang. Karena itulah, ia merekomendasikan usia setidaknya 15 tahun untuk menggunakan media sosial.

"Penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan 10-14 tahun terdampak paling besar oleh algoritma media sosial. Saya akan menunggu hingga berusia 15 atau 16, tetapi itu juga tampak kurang realistis bagi banyak kehidupan orang tua dan sang anak."  kata Stossel.

Usia 13 tahun, 16 tahun, atau berapapun sebetulnya bukan patokan mutlak. Prinstein dan APA mengungkapkan, sulit untuk menentukan usia pasti kapan penggunaan media sosial secara teratur dianggap aman, karena setiap anak tumbuh dengan kecepatan yang berbeda. Hal ini juga diungkapkan oleh Jerry Bubrick, PhD., psikolog klinis yang menangani banyak anak dan remaja dengan kecemasan dan OCD di lembaga nirlaba Amerika Serikat, Child Mind Institute.

"Saya bisa memperkenalkan Anda kepada seorang anak berusia 13 tahun yang sangat dewasa dan seorang anak berusia 17 tahun yang sangat belum dewasa." katanya dalam keterangan tertulis Child Mind Institute.

Dengan kata lain, kedewasaan dalam hal ini tidak berpatokan pada usia, melainkan pada kemampuan mereka membaca isyarat sosial, pengendalian impuls, dan kesiapan anak terhadap kritik atau penolakan.

Ada PP Tunas, Orang Tua Tetap Berperan Penting

Dengan adanya PP Tunas, pemerintah telah bergerak aktif untuk menjaga generasi muda Indonesia di ruang digital. Namun satu hal yang tak boleh dilupakan, orang tua tetap perlu memainkan peran utama dalam melindungi anak-anaknya saat berinternet ria.

Isi PP Tunas sendiri banyak menggambarkan pentingnya peran orang tua. Untuk bisa mengakses platform tertentu saja, pihak yang harus memberi persetujuan adalah orang tua. Berkali-kali pula pemerintah melalui Menkomdigi mengingatkan para orang tua untuk membatasi penggunaan perangkat digital oleh anak.

Untuk membahas pentingnya peran orang tua dalam menjaga anak di ruang digital, GNFI berbincang dengan Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, Sani Budiantini Hermawan. Menurut Santi, hal yang diperlukan dari orang tua adalah pendampingan.

Pada dasarnya, internet bermanfaat untuk anak
Namun, harus ada pendampingan orang tua
Peran orang tua saat anak berinternet:
Pembatasan waktu, durasi dan konten
Mengikutsertakan anak dalam menyusun aturan dan batasan
Konsisten menerapkan aturan
Family
"Memang tidak mudah menerapkan aturan-aturan tersebut, tetapi yang jelas apabila orang tua juga aware dengan dampak negatif dari penyalahgunaan internet pada anak, menyebabkan implementasinya akan jauh lebih mudah. Karena orang tua aware, anak lambat laun juga muncul kesadaran dalam dirinya. Tidak pure rasa takut, tetapi lebih ke arah kesadaran."

"Jangan sampai internet itu disalahartikan untuk melihat konten-konten yang tidak sepatutnya. Makanya perlu pendampingan orang tua. Dalam hal ini saya setuju jika memang dibatasi anak untuk kapan saja bisa mengakses internet, berapa lama, dan kemudian diseleksi kontennya." ujar Santi.

Santi memandang bahwa anak membutuhkan internet untuk mendukung proses belajar serta meningkatkan pengetahuannya. Namun saat anak menggunakannya dalam rangka mencari kesenangan, di situlah pendampingan dibutuhkan agar orang tua bisa menyeleksi konten mana yang boleh dikonsumsi.

"Orang tua harus tetap concern dengan konten yang diakses oleh anak, dan tentunya sesuai dengan usianya, perlu juga memberikan perhatian dan pemahaman pada anak atas kenapa tidak boleh dan mana saja yang boleh, disesuaikan dengan usia anak." lanjut Santi 

Seperti halnya pemerintah melalui PP Tunas, orang tua perlu membuat aturan penggunaan gawai dan internet terhadap anak. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, anak harus ikut terlibat dalam pembuatan aturannya agar ia punya kesadaran mengenai pentingnya aturan tersebut. Sementara dari orang tua sendiri, harus ada konsistensi dalam pelaksanaannya.

"Memang tidak mudah menerapkan aturan-aturan tersebut, tetapi yang jelas apabila orang tua juga aware dengan dampak negatif dari penyalahgunaan internet pada anak, menyebabkan implementasinya akan jauh lebih mudah karena ortu aware sehingga anak lambat laun juga muncul kesadaran dalam dirinya. Tidak pure rasa takut, tetapi lebih ke arah kesadaran." pungkas Santi.

Dibuat oleh Good News From Indonesia
Logo GNFI

Editor

Aulli Reza Atmam

Penulis

Dimas Wahyu Indrajaya, Firdarainy Nuril Izzah, Irfan Jumadil Aslam, Muhammad Fazer Mileneo

Desain & Visual

Arco Pradipta & Ario Priagung Nugroho

Web Developer

Danar Widi Utomo & Fika Nur Aini

Diterbitkan pada23 Juni 2025