Table of Content
Logo GNFI

Trem, MRT, & LRT: Transportasi Rel Masa Depan Indonesia

Transportasi berbasis rel adalah sarana angkutan yang rodanya didesain berjalan di atas rel. Karena berjalan di atas rel, hambatan daya gesek pun lebih rendah daripada moda darat lainnya yang membuat perpindahan angkutan yang membawa barang dan manusia dari satu titik ke titik lain menjadi lebih cepat.

Sejak dulu transportasi rel sudah menghiasi kehidupan manusia yang seiring waktu butuh kemudahan dalam hal mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Titik tolaknya adalah revolusi industri terjadi pada akhir abad ke-18. Mesin uap ditemukan pada masa itu yang kemudian melahirkan kereta yang ditarik lokomotif bertenaga uap.

Semenjak revolusi industri, teknologi semakin berkembang dan semakin pula bicara banyak di kehidupan manusia. Setelah transportasi rel bertenaga uap, munculah transportasi bertenaga listrik dan diesel yang lebih efisien dalam pengoperasiannya.

Di Indonesia - atau saat itu bernama Hindia Belanda - transportasi rel dioperasikan mulai pada pertengahan abad ke-19. Salah satu sistem transportasi rel yang beroperasi ialah sistem intrakota, yakni trem. Apa sih trem itu?

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), trem adalah kereta yang dijalankan oleh tenaga listrik atau lokomotif kecil biasanya dipergunakan sebagai angkutan penumpang dalam kota. Trem biasanya berjalan di tengah jalan raya dan di beberapa negara beda-beda istilahnya. Mengutip buku Perencanaan Transportasi Penunjang Perkembangan Suatu Wilayah dan Kota karya Septiana Hariyani dan Imma Widyawati Agustin, sebutan “trem” yang umumnya dipakai di Indonesia berasal dari Eropa. Sementara, di Amerika Serikat lebih sering disebut dengan sebutan “streetcar” dan di Tunisia disebut “Light Rail”.

Jauh setelah trem punah dari wajah Kota Jakarta, pada era modern dioperasikan lagi transportasi rel intrakota sejenis bernama Lintas Raya Terpadu (LRT) dan Moda Raya Terpadu (MRT). Dua-duanya sama-sama beroperasi pada 2019, tapi di rute operasional yang berbeda. LRT tahap pertama menghubungkan stasiun Velodrome dan Pegangsaan Dua dengan jarak lintasan 5,8 kilometer. Sementara, MRT tahap pertama yang menghubungkan Lebak Bulus dan Bundaran HI memiliki jarak lintasan lebih panjang yakni 15,7 kilometer.

Jika ditanya, “Apakah dua transportasi apakah perbedaan mencolok dari LRT dan MRT?” Sabrina Handayani dkk dalam buku Book Chapter Paradigma Angkutan Umum menjelaskan beberapa perbedaannya yakni MRT memiliki kapasitas daya angkut lebih besar dibandingkan LRT. Lalu, MRT dalam pembangunannya mengeluarkan biaya operasional yang lebih mahal sehingga tak ayal proses pembangunannya menjadi lebih lama pula.

Transportasi Rel Intrakota Zaman Baheula

Sistem transportasi berbasis kota telah berkembang sejak zaman hindia Belanda. Transportasi yang terdiri dari kereta api dan trem ini mudah ditemui di kota besar seperti Batavia (kini Jakarta), Semarang, dan Surabaya.

Trem sudah ada di Batavia pada 1869, di Semarang pada 1883, sedangkan di Surabaya baru muncul pada 1889. Setelah beroperasi, trem berkembang dari trem tenaga kuda, menjadi trem uap dan trem listrik.

Adriansyah Yasin Sulaeman dalam Trem Batavia, Mutiara Transportasi Jakarta yang Terlupakan menjelaskan pemerintah Gubernur Jenderal Daendels memiliki tugas utama yaitu membangun jalan yang membentang di sepanjang Pulau Jawa.

Hal tersebut bertujuan agar mempermudah pemerintah Belanda bepergian dan juga sebagai penunjang logistik kebutuhan pemerintah Belanda. Jalan pos juga berdampak pada munculnya sistem transportasi darat yang tangguh dan tahan banting.

“Maka dari itu banyak transportasi yang ada di Batavia salah satunya yaitu trem uap yang lebih dulu beroperasi sebelum adanya trem listrik,” ucapnya.

Menukil dari buku Gedenkboek der Samarang - Joana Stoomtram - Maatschappij menjelaskan pembukaan jaringan trem di Kota Semarang dilakukan setelah jaringan kereta api berkembang menghubungkan beberapa kota misalnya Cirebon.

Sedangkan di Surabaya, trem dikembangkan oleh perusahaan Belanda bernama N.V Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS). Tujuan dibangunnya trem adalah perpindahan masyarakat dari daerah pinggir Jawa Timur (Jatim) ke Surabaya.

“Apalagi memasuki abad ke 20, Surabaya secara berangsur-angsur mulai menjelma menjadi sebuah kota modern,” tulis Andrik Sulistyawan dan La Ode Rabani dalam artikel “Trem OJS di Kota Surabaya Tahun 1899-1930-an”.

Jadi pilihan warga

Pemerintah Kolonial mengubah trem uap yang berada di Batavia menjadi trem listrik pada tahun 1899. Adanya trem listrik di Batavia diharapkan agar memudahkan mobilitas penduduk di Batavia, khususnya menarik para turis berkunjung ke Batavia.

Pemerintah memprediksi penerimaan yang akan didapatkan dari pengoperasian trem di Batavia mencapai 170 ribu gulden. Keuntungan yang didapat bisa dibilang besar karena hampir setengah dari pendapatan diterima perusahaan trem listrik di Batavia.

Pemasangan rel trem dimulai dari pusat perekonomian Batavia yaitu Tanah Abang, Harmoni, Kramat dan juga Menteng. Lintasan rel ini sudah bisa digunakan di hampir seluruh perkotaan, karena menyatu dengan jalan dan dapat dilalui kendaraan lain.

Sedangkan di Semarang yang dimuat dalam buku Riwayat Semarang dijelaskan ongkos naik trem hanya sebesar 8-10 sen. Karena itu, transportasi ini cukup populer. Apalagi trem Semarang melewati rute-rute penting.

“Trem Semarang dibangun melewati rute-rute penting seperti alun-alun, pasar, dan gedung-gedung perkantoran, tempat-tempat tersebut merupakan destinasi utama di Semarang,” kata Liem Thian Joe.

Hal yang sama terjadi di Surabaya, di mana trem listrik melalui tengah kota, melewati Pasar Turi dan Sawahan serta mengikuti jalan protokol tengah kota, yaitu Jalan Raya Darmo. Pada zamannya trem menggerakan perekonomian kota.

Para buruh yang umumnya tinggal di luar kota, sangat bergantung pada trem untuk mencapai tempat kerjanya. Pada tahun 1927, sekitar 11,4 juta orang tercatat menggunakan trem listrik dan 5,2 juta yang menggunakan trem uap.

“Trem secara tidak langsung juga ikut memindahkan pusat kegiatan ekonomi Surabaya dari kawasan Jembatan Merah pindah ke utara Tunjungan.”

Trem

Transportasi Berbasis Rel Intrakota Pertama

Trem adalah transportasi berbasis rel intrakota pertama di Indonesia yang sudah pernah ada di zaman Belanda

Trem
Batavia
atau kini bernama Jakarta
adalah kota Indonesia pertama yang mengoperasikan armada ini.
Daerah-daerah yang dilewati di antaranya meliputi
Station

Pasar Ikan

Station

Harmoni

Station

Kramat

Station

Meester Cornelis (Jatinegara)

Berhenti beroperasi

Namun trem listrik perlahan mulai menghilang di kota-kota besar Indonesia. Di Jakarta, trem listrik berakhir pada tahun 1960, sedangkan di Surabaya pada 1970, di Semarang bahkan lebih dahulu yaitu pada tahun 1940.

Dalam majalah Star Weekly terbitan 29 Maret 1960 dengan judul Trem yang Siap Digusur mengungkapkan bahwa penghapusan trem adalah untuk mengurangi kemacetan. Di sisi lain, Presiden Soekarno menganggap trem tidak cocok untuk kota semacam Jakarta.

“Jalan Gajah Mada disebut sebagai jalan yang selalu macet dan orang selalu menyalahkan trem sebagai biang keladi kemacetan. Padahal kemacetan tidak selalu karena trem tapi juga karena oplet mogok,” tulisnya.

Sementara itu di Surabaya, pengguna trem mulai menurun seiring dengan masifnya mobil-mobil buatan Jepang masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1960-an. Karena itulah pada 1968-1969, trem listrik dihentikan operasinya.

“Kabel listrik aliran atas yang memayungi jalur trem ini dicabut dan jalur-jalur cabangnya sebagian juga dicabut.”

Di Semarang, Pemerintah Kolonial menganggap jalur trem yang dibangun tidak sesuai dengan konsep tata ruang kota. Di samping itu rencana untuk mengubah trem uap menjadi trem listrik dianggap akan memakan banyak biaya.

“Pilihan pada moda transportasi seperti mobil dan bus menjadi faktor lain mengapa kemudian trem menjadi sepi peminat kemudian ditutup.”

MRT dan LRT, Bangkitnya Transportasi Rel Intrakota

MRTJ (Mass Rapid Transit Jakarta) atau biasa dikenal sebagai MRT merupakan salah satu moda transportasi cepat berbasis rel yang berada di kawasan DKI Jakarta. Bisa dibilang, MRT yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2019 menjadi tonggak bertumbuhkan angkutan komuter yang cepat, progresif, dan futuristik di Indonesia, setelah Transjakarta dan KRL.

Sebagai salah satu penggagas, ide pembangunan MRT memang melalui proses yang sangat panjang. Melansir dari situs resmi MRT, rencana pembangunan MRT di Jakarta bahkan sudah dirintis sejak tahun 1985. Akan tetapi, pembangunan MRT baru ditetapkan sebagai proyek nasional pada tahun 2005, sehingga realisasi pengerjaan MRT baru berjalan pada 2006.

Proyek pembangunan MRT ini didanai oleh Pemerintah Jepang melalui skema pinjaman. Kerja sama pendanaan proyek MRT oleh Pemerintah Indonesia dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) diteken pada 28 November 2006. Tidak hanya itu, pengadaan unit kereta MRT juga dibeli melalui perusahaan Jepang, Nippon Sharyo.

Selama tiga fase pembangunan MRT Jakarta, JICA telah memberikan pinjaman sebesar 125 miliar yen atau kisaran 13 triliun dengan rincian.  

  • Pinjaman pertama (IP 536) senilai 1,8 miliar yen setara Rp200 miliar jangka waktu 22 Maret 2012 hingga 22 Maret 2017 

  • Pinjaman kedua (IP 554) senilai 48 miliar yen setara Rp5,5 triliun jangka waktu 28 Juli 2009 hingga 28 Juli 2019 

  • Pinjaman ketiga (IP 571) senilai 75,2 miliar yen setara Rp9,5 triliun jangka waktu 31 Maret 2016 hingga 31 Maret 2022 

Saat ini, MRT masih menjalankan proyek fase II dengan rute Bundaran HI – Ancol Barat (2B) dan Bundaran HI – Harmoni – Kota (2A). Proyek ini merupakan lanjutan dari MRT fase I dengan rute Bundaran HI – Lebak Bulus yang dimulai 2013 dan telah diresmikan 2019.

Tidak hanya itu, pembangunan MRT juga direncanakan akan berlanjut untuk fase III dengan rute Tomang – Medansatria hingga Cikarang - Balaraja. Kabarnya, pembangunan akan dimulai Agustus 2024 dan ditargetkan kelar pada 2031 nanti.

Meski masih tahap pembangunan, MRT Jakarta ini pernah dijadikan sebagai sarana alat transportasi para delegasi KTT ASEAN 5-7 September 2023 lalu. Hal ini tentu menjadi prestise tersendiri bagi Indonesia di bidang transportasi.

LRT

Selain MRT, Jakarta juga memiliki transportasi tingkat tinggi lainnya, yakni LRT. Berbeda dengan MRT yang bekerja sama sekaligus pembelian unit kereta dari Jepang, LRT justru lebih memilih membeli unit kereta kepada Korea Selatan, yakni Hyundai Rotem.

Proyek LRT Jakarta mulai proses groundbreaking pada tanggal 22 Juni 2016, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kota Jakarta ke-489. LRT Jakarta kemudian baru resmi beroperasi penuh pada 1 Desember 2019.

LRT Jakarta yang memiliki jalur sepanjang 5,8 km yang melayani enam stasiun: Stasiun Pegangsaan Dua, Kelapa Gading – Stasiun Boulevard Utara – Stasiun Boulevard Selatan – Stasiun Pulomas – Stasiun Equestrian – Stasiun Velodrome, ini menghabiskan dana sekitar Rp23 triliun.

Pembiayaan pembangunan LRT Jakarta berasal dari dana dalam negeri dengan komposisi 67% dari perbankan dan 33% APBN.

Hingga saat ini, LRT Jakarta masih tahap pembangunan untuk rute Velodrome – Manggarai yang baru dimulai 30 Oktober 2023. Pembangunan ini ditargetkan akan beroperasi pada awal 2026.

Selain LRT Jakarta, pemerintah juga meresmikan LRT Jabodebek dengan rute Dukuh Atas – Harjamukti (Lintas Cibubur) dan Dukuh Atas – Jatimulya (Lintas Bekasi) pada 28 Agustus 2023 lalu.

Kabar baiknya, LRT tidak hanya ditemui di kawasan Ibu Kota Indonesia. Transportasi futuristik ini telah diterapkan pula di Palembang, Sumatera Selatan.

LRT Palembang ini menghubungkan Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Kompleks Olahraga Jakabaring. Pembangunan LRT Palembang pada awalnya difungsikan sebagai sarana transportasi penonton dan atlet pada Pesta Olahraga Asia 2018.

Dengan dana sedikitnya Rp10,9 triliun rupiah, LRT Palembang memiliki 13 stasiun. 12 stasiun di antaranya telah beroperasi sejak 8 Oktober 2018.

Serupa, tapi Tak Sama

Baik trem, MRT, dan LRT sama-sama transportasi berbasis rel intrakota, tapi ada beberapa poin yang membedakannya.

Train CenterTrain RightTrain Left
Serupa, tapi Tak Sama

Trem, sekalipun sudah tidak ada lagi di Indonesia, bisa diketahui ciri khasnya dengan beroperasi di tengah jalan-jalan kota.

Sementara, MRT dan LRT yang bisa dilihat di Jakarta berbeda.

Serupa, tapi Tak SamaMRT

MRT mengoperasikan armadanya di jalur layang dan bawah tanah, sementara LRT di jalur layang saja.

Selangkah Lebih Maju Transportasi di Indonesia

Andriansyah Yasin mengamini bahwa transportasi di Indonesia telah selangkah lebih maju. 

“Misalnya KRL dari yang non-AC menjadi AC. Tapi itu belum cukup, apalagi berbicara kota-kota lain yang masih gitu-gitu aja,” jelas Andriansyah.

Akan tetapi, ia menekankan bahwa sebenarnya langkah Indonesia, terutama Jakarta membangun transportasi umum sudah sangat tertinggal. New Delhi, Ibu Kota India justru telah lebih dulu sukses membangun sistem transportasi yang terintegrasi.

“India dari segi transportasi umum keren. Dalam waktu 20 tahun, New Delhi sudah punya hampir 200-300 stasiun. Jakarta sebenarnya terlambat karena baru punya MRT 2019,” tuturnya.

Menurutnya, Indonesia sangat bisa untuk bisa mengejar India atau bahkan Singapura, Kuncinya ialah Indonesia harus fokus dan konsisten membangun transportasi umum.

“Apa yang dilakukan di luar bisa dilakukan di Jakarta, berjalan terus. Tidak dibangun satu terus berhenti dua tahun, baru dilanjutkan. Gak bisa. Harus paralel,” tegasnya.

Pembangunan MRT dan LRT Rugi?

Pembangunan transportasi umum berbasis rel bukanlah hal mudah. Biaya pembangunan dan biaya operasional yang dibutuhkan sangatlah besar. 

Presiden Jokowi mencontohkan, saat pembangunan MRT Jakarta anggarannya bisa mencapai Rp 1,1 triliun per 1 km. Angka tersebut belum termasuk biaya operasional saat MRT Jakarta beroperasi.

Oleh karena itu, Darmaningtyas, seorang penulis sekaligus kritikus pendidikan dan transportasi mengungkapkan tidak semua daerah berpotensi untuk dibangun transportasi berbasis rel.

“Transportasi rel investasi maupun operasionalnya sangat banyak. Maka hanya bisa dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki fiskal cukup baik,” jelasnya.

Ambil contoh, Jokowi menyebut bahwa biaya operasional MRT Jakarta mencapai 800 miliar tiap tahunnya. Akan tetapi, nilai tersebut tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang diakibatkan kemacetan yang selama ini dirasakan.

Jokowi menyebut, kerugian negara akibat kemacetan berpotensi mencapai angka yang lebih besar, yakni 465 triliun tiap tahun.

Akan tetapi, Andriansyah Yasin mengungkapkan bahwa pengadaan transportasi umum berbasis rel di daerah lain di Indonesia, utamanya kota-kota besar tidak akan membutuhkan anggaran yang sangat besar. Apalagi jika kota-kota tersebut telah memiliki jaringan rel kereta api.

“Sebagai contoh Jogja dan Solo. Itu sebenarnya (baca: KRL) mereka upgrade karena sudah ada rel kereta di sana. Biaya yang dibutuhkan untuk upgrade sekitar 1 triliun. Dari segi transportasi, itu sangat murah. Itu bisa dilakukan di kota-kota di Indonesia yang sudah punya jalur kereta. Pertanyaannya ada gak sih alokasi dana dari pemda?” jelas Andriansyah dalam wawancara khusus bersama Good News From Indonesia.

Andriansyah juga menekankan pentingnya transportasi berbasis rel mengingat kota-kota besar di Indonesia menurutnya tingkat kemacetan kini hampir setara dengan kondisi di Jakarta.

MRT dan LRT

  • Setelah trem punah dari jalan-jalan kota, era bus diesel pun hadir.
  • Seiring waktu pemerintah menilai transportasi rel lebih efektif dan tidak menyumbang polusi seperti transportasi umum seperti bus.
Kereta MRT
  • Maka dari itu, dihadirkanlah MRT dan LRT di Jakarta pada 2019.
  • Khusus untuk LRT, Kota Palembang, Sumatra Selatan malahan lebih dulu beroperasi dibandingkan Jakarta yakni pada 2018.
Title

Akankah Transportasi Berbasis Rel Dibangun di Daerah Lain?

Darmaningtyas menyatakan pembangunan transportasi umum di daerah Jakarta telah selangkah lebih maju, terutama dengan keberadaan MRT dan LRT. AKan tetapi, pengembangan transportasi masih perlu dilakukan untuk daerah-daerah lain. Mengingat, Indonesia memiliki wilayah yang luas dari Sabang hingga Merauke.

“Transportasi publiknya bagus hanya di Jakarta. Kalau Jakarta makin hari makin jelas. Tapi kalau daerah lain, banyak yang mengalami krisis angkutan umum,” tutur Darmaningtyas.

Apalagi, transportasi merupakan kendaraan utama bagi masyarakat untuk mampu mengakses pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan. 

Meski demikian, Darmaningtyas menambahkan, sistem transportasi umum berbasis rel di Jakarta tidak lantas harus diterapkan di daerah lain. Terlepas dari kondisi penduduk dan kondisi fiskal, masing-masing daerah memiliki kebutuhan yang lebih spesifik terhadap transportasi umum.

“Daerah pada umumnya yang bisa dikembangkan hanya berupa bis. Tapi jangan lupa Indonesia itu daerah kepulauan, yang mereka perlukan angkutan perairan, entah itu kapal untuk laut, danau, atau sungai,” jelasnya.

Ia menandaskan, pembangunan transportasi umum di Indonesia tidak harus berupa MRT, LRT, dan kereta.

Menambahi poin tersebut, Andriansyah menjelaskan bahwa daerah lain bisa mengambil langkah Jakarta untuk membuat transportasi umum layaknya Transjakarta. 

“Transjakarta jaringannya sudah ke mana-mana dan sudah ada mikro trans,” ujar Adriansyah.

Dalam pelaksanaannya mengoperasikan mikrotrans, setiap pemerintah daerah sangat perlu untuk menggandeng operator transportasi umum yang sudah lama hadir, seperti yang diterapkan di Jakarta. Tujuannya, agar tidak terjadi gesekan antarkeduanya.

“Konsepnya operator lama di Jakarta digandeng dalam satu kontrak dibayar dengan set of rules standar Jakarta. Tidak lantas membuat sistem baru dengan operator baru yang akhirnya menggeser operator lama,” ucapnya lagi.

MRT dan LRT Makin Panjang

Pembangunan proyek lanjutan MRT dan LRT saat ini sedang dikebut. Kedua moda transportasi umum tersebut dibangun agar dapat mengurangi kemacetan dan mengurangi polusi Jakarta yang semakin parah. Lalu, bagaimana progres pembangunan MRT dan LRT Jakarta saat ini?

Fase dua MRT

Pembangunan MRT Jakarta Fase 2 membentang sepanjang 11,8 kilometer, mulai dari Bundaran HI sampai Ancol Barat. Fase kedua ini merupakan proyek lanjutan koridor utara-selatan fase 1 yang sudah beroperasi terlebih dahulu pada 2019 silam, yang menghubungkan Lebak Bulus sampai Bundaran HI.

Total panjang jalur utara-selatan tersebut diproyeksi mencapai 27,8 kilometer. Estimasi waktu perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus Grab sampai Stasiun Kota yang dibutuhkan adalah sekitar 45 menit.

Proyek pembangunan Fase 2 ini terdiri dari dua tahapan, yakni Fase 2A dan Fase 2B. Fase 2A terdiri dari tujuh stasiun bawah tanah, di antaranya, Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota, dengan panjang jalur 5,8 kilometer.

Sementara itu, Fase 2B terdiri dari dua stasiun bawah tanah, yaitu Mangga Dua dan Ancol, dan satu depo di Ancol Marina. Total panjang jalur pada Fase 2B ini diproyeksi sekitar 6 kilometer.

Fase 2A terdiri atas dua segmen, yaitu segmen satu dari Bundaran HI sampai Harmoni dan segmen dua yang menghubungkan Harmoni hingga Kota. Segmen satu direncanakan selesai pada 2027, dan segmen dua pada 2029.

Seluruh stasiun MRT Jakarta Fase 2A terletak di bawah tanah. Setiap stasiun juga akan dilengkapi dengan fasilitas penunjang mobilitas pengguna jasa, seperti retail, lift, tangga, eskalator, hingga parkir sepeda.

Rencananya, seluruh stasiun juga dirancang agar saling terintegrasi dengan jalur moda transportasi massal lainnya, seperti Transjakarta. Hal ini tentunya akan memudahkan seluruh pengguna jasa untuk berpindah-pindah moda transportasi.

Pekerjaan konstruksi MRT dibagi dalam tiga paket kontrak, di antaranya CP 201 (Thamrin-Monas), CP 202 (Harmoni, Sawah Besar, dan Mangga Besar), serta CP 203 (Glodok-Kota).

Paket kontrak lainnya meliputi CP 205 untuk sistem kereta api dan rel dari Bundaran HI sampai Kota, CP 206 untuk pengadaan kereta, dan CP 207 untuk Automatic Fare Collection (AFC).

Total perkembangan konstruksi sipil MRT per 25 Juli pada CP 201 saat ini sudah mencapai 76,65 persen. Sedangkan CP 202 mencapai 35,23 persen dan CP 203 sebesar 58,91 persen.

Selanjutnya, pada CP 205, progresnya baru mencapai 6,09 persen. Terakhir, pada CP 206 dan 207, masing-masing sebesar 0 persen.

Di sisi lain, melalui situs resmi Jakarta MRT dijelaskan, saat ini fase 2B masih dalam tahap studi kelayakan.

Progres pembangunan LRT

Pembangunan LRT Fase 1B rute Velodrome-Rawamangun-Manggarai sudah resmi dimulai sejak Oktober 2023 silam.

LRT Jakarta Fase 1B memiliki rentang jalur sepanjang 6,4 kilometer dengan lima stasiun, yaitu Stasiun Pemuda Rawamangun, Stasiun Pramuka BPKP, Stasiun Pasar Pramuka, Stasiun Matraman, dan Stasiun Manggarai.

Sebelumnya LRT Fase 1A yang sudah beroperasi terlebih dahulu memiliki enam stasiun, yaitu Stasiun Pegangsaan Dua, Stasiun Boulevard Utara, Stasiun Boulevard Selatan, Stasiun Pulomas, Stasiun Equestrian, dan Stasiun Velodrome.

Total panjang jalur dari Stasiun Pegangsaan Dua sampai ke Stasiun Manggarai diperkirakan mencapai 12,2 kilometer dengan waktu tempuh perjalanan sekitar 26 menit saja.

Pembangunan LRT dari Velodrome sampai Pramuka ini ditargetkan selesai pada bulan September 2024. Sementara itu, untuk proyek yang menghubungkan hingga ke Manggarai ditargetkan akan bisa dioperasikan pada tahun 2026.

Menjangkau mana saja?

Jakarta memiliki dua sistem LRT, yaitu LRT Jakarta dan LRT Jabodetabek. Sesuai dengan Namanya, LRT Jakarta beroperasi di kawasan Jakarta, sedangkan LRT Jabodetabek menjangkau wilayah kota satelit Jakarta, yakni Bogor, Depok, dan Bekasi.

LRT Jakarta melayani satu jalur yang membentang mulai dari Stasiun Velodrome sampai dengan Stasiun Pegangsaan Dua dan Depo LRT. Tarif yang dipatok oleh LRT Jakarta adalah sebesar Rp5.000 per perjalanan.

Sementara itu, LRT Jabodetabek melayani tiga lintasan, di antaranya lintas Cibubur-Cawang, lintas Bekasi Timur-Cawang, dan lintas Cawang-Dukuh Atas. Tarif yang dipatok tentu saja berbeda dengan LRT Jakarta.

Tarif LRT Jabodetabek yang diberlakukan adalah minimal Rp3.000 untuk 1 kilometer pertama dan tarif maksimal yang berkisar antara Rp10.000 sampai dengan Rp20.000 untuk jarak terjauh.

Selanjutnya, MRT Jakarta melayani 13 stasiun yang terdiri dari tujuh stasiun layang dan enam stasiun bawah tanah. MRT Jakarta mengoperasikan satu jalur yang membentang dari Stasiun Lebak Bulus Grab sampai Stasiun Bundaran HI.

Tarif yang diberikan berkisar antara Rp3.000 sampai Rp14.000. Nantinya, setelah pembangunan Fase 2 selesai, jalur MRT Jakarta akan semakin panjang, dengan Fase 2A yang menghubungkan Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota, serta Fase 2B yang menghubungkan Mangga Dua dan Ancol.

Makin Panjang
Makin Berkembang

Di Kota Jakarta, MRT & LRT
tengah diperpanjang rutenya

Title
Title

Untuk MRT nantinya
penumpang bisa menikmati
layanan hingga wilayah
Glodok dan Kota Tua

Title
Title

Sementara LRT rute,
barunya akan mencapai
daerah Manggarai

Menanti Trem Lagi

Trem sebagai transportasi publik di perkotaan Indonesia memang sudah tinggal cerita. Meski demikian, bukan berarti trem benar-benar lenyap. Kenyataannya, trem eksis kembali di Indonesia.

Trem yang dimaksud adalah trem yang berada di Mal Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan dan Mal Bale Kota, Tangerang. Hanya saja, trem tersebut tentu tidak difungsikan sebagai transportasi umum untuk menunjang aktivitas masyarakat sehari-hari. Di sana, trem hanya dimanfaatkan sebagai moda wisata bagi pengunjung mal. Itu pula mengapa jalurnya hanya mengitari sekitar mal saja.

 

Wacana untuk menghidupkan kembali trem sebagai moda transportasi publik sebenarnya bukannya tidak ada. Pada 2014, ada rencana untuk mengaktifkan kembali rel trem di Surabaya. Digadang-gadang bakal jadi solusi kemacetan lalu lintas Kota Pahlawan, nyatanya wacana itu tidak kunjung terealisasi hingga sekarang.

Setelah Surabaya, giliran Kota Bogor yang melontarkan wacana menghadirkan trem. Sejak 2019 lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor bahkan telah duduk satu meja dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk membahas rencana tersebut. Saat itu, Direktorat Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kemenhub menyatakan dukungannya terhadap trem Bogor.

"Sangat kami dukung baik rencana ini. Ditjen KA sangat gembira dan menyambut baik bagaimana planning ke depan untuk pengembangan trem yang menjadi salah satu moda dan solusi pengaturan lalu lintas di Kota Bogor yang nyaman seperti dulu," ujar Plt. Dirjen KA Kemenhub, Zulmafendi di Kantor Kemenhub, Jakarta Pusat, Kamis (22/9/2022).

Trem Bogor diproyeksikan bakal dioperasikan dalam 4 koridor. Tak hanya itu, tremnya juga akan terintegrasi dengan LRT sehubungan adanya rencana untuk memperpanjang jalur LRT Jabodebek dari Harjamukti ke Baranangsiang. 

Kabar mengenai rencana dibangunnya trem Bogor terakhir kali ramai dibicarakan pada Januari 2024 lalu. Setelahnya, belum ada tindak lanjut nyata lagi mengenai wacana tersebut. Bahkan yang ada justru berembus kabar Pemkot Bogor mempertimbangkan agar proyek trem diganti dengan Autonomous Rail Transit (ART) alias trem otonom. Alasannya, trem otonom lebih hemat biaya.

Trem otonom merupakan kereta yang dijalankan di atas jalur aspal menggunakan rel virtual berupa marka jalan dan diklaim sebagai gabungan sistem dari sistem transportasi light rapid transit (LRT) atau kereta ringan dan autonomous bus. Meski disebut "trem", sesungguhnya trem otonom jelas berbeda dengan trem konvensional yang melaju di atas rel besi.

Saat ini, trem otonom sudah ada di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan telah dioperasikan sejak menjelang momen upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI pada pertengahan Agustus 2024 lalu. Saat menjajal moda transportasi ini, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung soal perlunya kota-kota lain di Indonesia untuk mendorong pengembangan transportasi massal berbasis energi hijau.

Menanti Trem Lagi

Sudah lama sejak trem digadang-gadang akan dihidupkan lagi

Title

Kabarnya, Kota Bogor siap mengoperasikan trem yang "tidak seperti" trem yang sudah banyak orang kenal

Title

Trem itu adalah trem otonom, yang sebelumnya sudah dioperasikan di Ibu Kota Nusantara (IKN)

“Kalau kita pengin kan harganya kira-kira Rp74 miliar per unit. Kalau kita mau membangun MRT itu per kilonya Rp2,3 triliun. Kalau kita mau membangun LRT itu kurang lebih Rp700 miliar per km. Bedanya di situ, ini tidak berbasis rel jadi lebih murah, enggak bangun infrastruktur dasarnya, memakai jalan yang sudah ada,” kata Jokowi.

Dengan biaya yang lebih murah, tampaknya pemerintah pusat memang membuka peluang untuk menerapkan trem otonom di berbagai kota selain IKN. Hanya saja, masih ada satu tantangan yang masih perlu dicari solusinya, yakni jalan perkotaan yang relatif sempit.

“Problemnya sekarang ini hampir di semua kota jalannya kurang lebar, itu masalahnya, jadi tidak semua kota bisa memakai ART,” pungkas Jokowi.

Dibuat oleh Good News From Indonesia
Logo GNFI